Selasa, 24 Mei 2011

MIRIP SIAPA YA….

Bagi  orang tua yang pernah atau saat ini memiliki anak dengan usia antara 3-7 tahun mungkin akan menyadari banyak tingkah anak-anak yang dimulai dengan meniru. Kita sering tertawa-tawa melihat bagaimana si anak ini dapat menirukan dengan baik tingkah laku orang yang ada di sekitarnya. Atau justru terkaget-kaget keheranan sambil berkata “Waduh kok yang itu ditiru juga”.

Nah cerita sama terjadi di rumah kami. Seiring dengan tumbuh kembangnya, dua anak saya menjadi pengcopi tingkah laku orang di sekitarnya dengan baik. Bahkan untuk si adik, Qila juga sudah sudah menirukan tingkah laku kami.  Tentu saja mereka menirukan kebiasaan-kebiasaan kami dengan cara sendiri.
Jadi suatu saat Denia diminta si Ayah untuk mandi dan segera melepas bajunya sendiri. Saya sendiri waktu itu sedang menyiapkan adiknya. Setelah sekian lama, Denia tetap aja gulang-guling di atas tempat tidur. Melihat Si Denia gak segera bangun maka si Ayah mendatangi sambil berkata: “Mbak Denia, ayuh to Nak. Ini dah siang lo. Dari tadi sudah dibangunkan kok masih gulang-gulung aja.”  Mau tahu jawabannya Denia: “ Yah..yah wong gak mau bangun kok dipaksain to yah..yah”. Lah kok begitu yang jawab…kami langsung shock dengernya. Nih anak niru dari siapa ya….Akhirnya setelah sekian lama kami menyadari bahwa ternyata Denia ini meniru kebiasaan saya saat sedang gak enak badan atau gak nafsu makan. Saya sering mengalami gangguan pencernaan jadi tidak bernafsu makan tapi karena si Ayah model yang berpedoman obat terbaik adalah makan, meskipun sait tetep saja dipaksa untuk makan. Saya menolak dengan ucapan yang sama ketika Denia tadi menolak untuk mandi. Waduh…nih anak makin pinter…bisa aja yang niru.

Saat yang lain pernah lo kami sampai ditegur oleh gurunya Denia. Waktu itu Denia sedang maen di rumah si ibu guru tersebut.  Guru Denia  yang satu ini memang deket dengan keluarga kami. Bahkan sudah dianggap seperti mbah putri. Jadi beliau sendiri tanpa sungkan-sungkan sering menanyakan mengenai perkembangan dua putri kami sekaligus memberikan saran.  Saat maen di rumah gurunya ini, Denia ceritanya diminta (lagi) untuk mandi. Saat itu Denia langsung menjawab; “Astagfirullah.” Tapi dengan ekpresi menaik gitu. Sekali lagi kasus diusut dan ternyata muncul dari kebiasaan yang tanpa sadar kami lakukan. He…he astagfirullah khan doa untuk meminta ampunan. Seperti doa lainnya khan seharusnya di ucapkan dengan kerendahan hati sebagai umat. Namun karena kami sering mengucapkan bersamaan dengan waktu emosi mulai meninggi. Jadi suara kami ikut meninggi satu oktaf. Aduh…aduh malunya kami. Maaf ya Nak…ayah dan mbu masih perlu belajar lebih keras lagi supaya menjadi contoh yang baik.

Dik Qila juga sudah mulai menunjukkan perilaku meniru yang sama namun lebih banyak mulai terarah. Mungkin karena kami sudah menemukan pola yang lebih baik daripada saat mengasuh Denia. He..he nasibnya Mbak Denia jadi anak pertama masih jadi korban percobaan. Dik Qila  mulai menirukan kebiasaan saya ketika menyiapkan diri ketika akan bepergian bersama. Iya Dik Qila mencari sendiri kain gendongan, botol susu dan merangkak ke depan rumah sambil menyeret tas (dik Qila sekarang belum bisa jalan baru bisa merangkak). Menirukan menggunakan sandal atau sepatu yang meskipun kebesaran tetap saja dipakai sambil diseret-seret.

Sebenarnya, sifat meniru dalam tumbuh kembangnya anak telah kami sadari. oleh karenanya terkadang kami dengan sengaja memberikan contoh, misalkan untuk menunjukkan ekspresi kasih sayang dengan mengelus kepala dan mencium pipi. Atau saat kami menunjukkan sopan-santun ketika menerima tamu.

Dari kejadian-kejadian itu kami sadar harus lebih banyak lagi mengkontrol perilaku supaya si anak mendapatkan contoh yang baik. Kami juga harus menyadari bahwa perubahan perilaku tersebut dilakukan karena memang harus dirubah (tidak baik dilakukan). Supaya tidak hanya  terkesan jaim tapi memang saatnya kami harus berubah dan dapat menjaga niat secara konsisten. Ya itu…gak mau jadi orang tua yang bisanya melarang ini itu tapi sendirinya gak mampu merubah. Biar bisa menjadi contoh…amien.


Tapi ternyata masih ada residu perilaku kurang baik yang tersampaikan. 

Minggu, 22 Mei 2011

BERDEBAT ITU ADALAH SENI BERADU LOGIKA

Minggu lalu, ayahnya anak-anak tanpa sengaja meminjam film The Great Debaters. Gak sengaja karena salah pesan film. Ternyata dari ketidaksengajaan nonton film ini kita (saya dan ayahnya anak-anak) mendapatkan beberapa pengetahuan baru. Pesan filmnya bagus, bercerita mengenai bagaimana debat itu seharusnya dilakukan. Di latar belakangi perjuangan gerakan kulit hitam di Amerika pada periode tahun 1935-an. Kalau untuk saya sih, filmnya agak berat. Jenis film yang tidak membuat tersenyum di akhir film namun berkerut dahinya. Pokoknya sepanjang nonton film, kita banyak menggeleng-gelengkan kepala (karena keheranan). Kok bisa ya….
Sebenarnya seluruh pesan dalam film tersebut bagus namun saya lebih mengagumi bagaimana  Film The Great Debaters tersebut menuturkan cara seharusnya berdebat. Berbeda sekali dengan cara debat yang ditayangkan di salah satu televisi swasta saat ini atau ketika waktu kampanye dulu. Dalam film ini menguraikan bahwa debat merupakan salah cara tepat untuk mempresentasikan jembatan logika (bahasane Lik Antok). Menghubungkan antara satu pemikiran dengan pemikiran lain dan kemudian dengan tepat diterapkan untuk menganalisa satu kasus. Kalau kasusnya berbeda maka juga membutuhkan jembatan pemikiran yang berbeda. Nah inilah menjadi titik penting menjadi seorang debaters….bagaimana mensesuaikan jembatan berpikir untuk menganalisa satu kasus dengan kasus lainnya. Untuk menerapkan ketepatan logika itu ternyata seorang debaters tidak cukup hanya menguasai satu ilmu saja. Dalam film ini mereka harus berbagai ilmu supaya dapat memandang suatu kasus dari berbagai sisi.  Selain itu mereka juga dapat menganalisa berdasarkan fakta, bukannya pendapat pribadi atau intuitif saja.
Nah di sinilah letak seni dari berdebat. Cara mereka untuk menyusun logika demi membuat argument dengan tepat. Menjadi seni karena argument-argumen tersebut disampaikan dengan indah. Tidak membuat orang merasa terhakimi namun untuk merenung bersma. Kondisi apa yang sedang mereka hadapi. Kemudian mencoba membuat solusi bersama.
Jadi salut banget ketika mereka (tim The Great Debaters) mampu menganalisis fenomena maraknya pekerja anak dengan kenyataan bahwa kondisi social ekonomi masyarakat Amerika yang terpuruk setelah masa Great Depression. Negara juga membutuhkan lebih banyak tenga kerja saat industri mulai mengalami pemulihan Di sisi lain juga  mempertimbangkan hak anak-anak adalah bermain serta tumbuh kembang. Adegan itu menunjukkan tim Great Debaters menganalisis dari ilmu sosiologi, psikologi anak, sekaligus ekonomi 
Selain itu para debaters juga harus memiliki karakter kuat dalam kepercayaan diri dan mampu menghargai orang lain. Kepercayaan diri penting untuk menguasai diri di depan khalayak umum. Demikian pula karakter menghargai orang lain. Ketika saatnya memang analisa yang diberikan tidak mampu memberikan suatu hasil akhir memuaskan maka pihak tersebut dengan “lapang dada” menerima logika lawan sebagai yang logika terbaik. Artinya tidak selalu debat adalah bertahan namun ada juga saatnya harus menerima. Mereka tidak memandang siapa yang menyampaikan namun memfokuskan pada apa yang sedang di sampaikan. Jadi ceritanya saking grup the Great Debaters tersebut mampu menyampaikan argumen yang bagus....para penonton kulit putih memberikan apresiasi tak kalah meriah dibandingkan dari tim kulit putih sendiri. Padahal kondisi rasis di masyarakat Amerika saat itu sangat kuat jadi kecil kemungkinan kaum kulit putih memberikan apreasiasi demikian hebat
Nah inilah salah satu perbedaan paling menonjol dari debat yang ada di Indonesia. Beda khan di Indonesia, masih banyak kata “pokok men”. Apalagi pakai acara adu lempar perlengkapan gedung. He..he..itu adu debat apa cabang olahraga lempar cakram ya…
Lewat film tersebut saya kemudian jadi memahami mengapa debat dapat dijadikan titik ukur dalam pemilihan pemimpin. Debat menjadi acuan dalam menilai penguasaan pengetahuan ilmu calon pemimpin. Klo si calon pemimpin ini makin mampu menganalisa dari berbagai sisi dan kemudian memberikan analisa yang tepat pada suatu kasus maka kita dapat menilai bahwa beliau merupakan seseorang yang memiliki kekayaan ilmu. Demikian pula dengan melihat karakter kepercayaan diri dan kemampuan bernegoisasi. Hal ini penting untuk menjalin kerjasama. Namanya juga pemimpin khan harus mampu membangun kerjasama baik dengan tim yang dipimpin. Bener-bener baru tahu….makanya kenapa di Amerika atau di negara-negara maju memasukkan debat dalam salah satu acara wajib kampanye pemilihan pemimpin dalam tingkatan apapun. Dari tingkat senator sampai tingkatan pemimpin negara. Demikian pula saat mereka melakukan sosialiasi program. Gak cuma slogan “jadi pilihlah aku”..tapi berganti menjadi “mengapa memilih aku”.
Gara-gara salah film ternyata membawa pengetahuan baru ya.

MENGAPA KITA (HARUS) MENGHARGAI KREATIFITAS ORANG ??

Tahukah anda bahwa keharusan kita untuk menghargai kreatifitas orang bukan saja karena kewajiban namun juga karena manfaat bagi diri sendiri. Iya…jadi kata harus pada kalimat diatas dibangun bukan hanya pada kewajiban namun manfaat yang diperoleh.
Seseorang yang sangggup untuk menghargai kreatifitas orang akan memunculkan input baru dalam perkembangannya. Mereka akan belajar menemukan pola-pola bagaimana orang si empunya kreatifitas dalam melewati suatu permasalahan, kemudian menemukan bagaimana mereka bisa menemukan suatu solusi dan keberanian untuk memulai. Kita juga akan belajar bagaimana menjaga kekukuhan hati untuk melewati semua kesulitan dan hambatan. Proses seperti ini disebut juga sebagai upaya untuk belajar dari pengalaman orang lain. Dengan demikian manfaat yang diperoleh akan sebaik ketika mendapatkan manfaat dari menjalani sendiri.
Sama saja ketika membaca biografi orang-orang yang terkenal. Orang-orang yang telah mendapatkan pengakuan dari lebih banyak orang. Hanya saja kreatifitas tersebut terkadang muncul dari orang-orang di sekitar anda. Orang-orang yang mungkin tidak anda kira mampu berbuat demikian  Dalam kasus seperti ini maka anda berupaya untuk menghargai sebuah kreatifitas tanpa melihat sosoknya namun melulu hanya pada prosesnya saja.
Tentu saja untuk mendapatkan input dari proses menghargai disertai dengan sifat- seperti mengakui dalam menerima kekurangan, kelemahan, kelebihan dan kekuatan diri. Dengan demikian kita akan mengadaptasi kreativitas dengan diri sendiri. Harus juga diiringi dengan sikap mau mengakui keunggulan si empunya kreatifitas. He..he kalau yang ini sulit ya dilakukan. Untuk mengakui kelemahan diri sendiri saja sulit apalagi harus mengakui keunggulan dalam kreatifitas orang lain.
Sebaliknya, Bagaimana kalau prosesnya berhenti pada kalimat “Ah..kalau begitu saja saya bisa”. Orang-orang yang berkata demikian justru akan berhenti pada kata “kalau bisa”. He..he kenyataannya ya gak bisa, kalaupun bisa karena melihat orang lian yang telah melakukan dulu bukan dari iniasitif sendiri.
Kemudian muncul pertanyaan apakah proses menghargai kreatifitas di atas termasuk dalam menjiplak. Jawabannya tentu saja berbeda. Menjiplak adalah melihat pada hasil akhir sedangkan mendapatkan manfaat dari menghargai pada prosesnya. Jangan lupa yang dimaksud dengan menghargai kreatifitas melibatkan proses mengadaptasi dengan kondisi diri sendiri. Jadi muncullah kreatifitas dalam bentuk baru. Original milik kita. 

BERBAHAGIA UNTUK HARI KEMARIN, HARI INI DAN MENDATANG

Salah satu pertanyaan abadi dalam kehidupan manusia adalah: Apakah anda berbahagia? Jawabannya tentu bagi masing-masing orang sangat berbeda. Bahkan apabila anda tanyakan dengan orang yang sama namun seiring dengan waktu berlalu tentu akan menghasilkan jawaban yang berbeda pula.
Dalam ilmu psikologi sendiri, kebahagiaan sering dikaitkan dengan happiness (Diener, 2000 dan Myers, 2000). Mereka menyatakan bahwa kebahagiaan adalah evaluasi manusia secara kognitif dan afektif terhadap kehidupan mereka. Dengan demikian ada dua komponen  kebahagiaan dalam ilmu psikologi yaitu komponen kognitif sering disebut dengan kepuasan hidup dan komponen afektif sering dikaitkan dengan emosi. Artinya orang yang mampu memuaskan berbagai kebutuhan  akan cenderung memiliki emosi yang positif (emosi yang mengarah kebahagiaan, kesenangan dan lain-lain). Dengan singkat bahwa kebahagiaan itu dikaitkan dengan pemenuhan kebutuhan atau yang disebut dengan harapan.  
Sedangkan dalam teori Maslow menyebutkan bahwa manusia memiliki tingkatan kebutuhan. Dimana tingkat kebutuhan tersebut dibagi dalam lima tingkatan yaitu kebutuhan fisiologis, kebutuhan keamanan, kebutuhan social, penghargaan dan aktualisasi diri. Di dalam teori tersebut juga menyebutkan bahwa seorang manusia akan bergerak untuk memenuhi tingkat kebutuhan yang berada pada tingkatan di atasnya apabila sudah memenuhi tingkatan di bawahnya. Ketika orang tersebut belum memenuhi kebutuhan maka muncullah konsep harapan yang menggerakan mereka untuk bergerak ke tingkatan di atasnya. Demikian gerakan tersebut mendorong mereka ke atas dan terus ke atas.
Nah …kenyataannya dalam kehidupan manusia tidak memiliki tingkat tanggapan yang sama terhadap tingkat kepuasan kebutuhan. Satu orang akan puas apabila sudah memiliki rumah, mobil, atau sejumlah perhiasan. Satu orang yang lain akan memiliki kepuasan cukup berbahagia dengan aktualisasi diri di tengah masyarakat sedang yang lain cukup bahagia ketika mengabdikan diri. Kita tidak bisa mengatakan bahwa: “Kamu akan bahagia dengan jalan yang aku tempuh. Lihat sekarang aku sudah mampu memiliki ini dan itu”. Di sisi lain orang tersebut akan mengatakan: “ Bagaimana mungkin aku bahagia, sedangkan bukan itu yang aku harapkan. Bukan itu pula jalan yang aku harapkan dapat memenuhi semua keinginanku.” Hal inilah yang nantinya mengarahkan jawaban mengenai kebahagiaan menjadi sangat subjektif karenanya kenyataannya kebutuhan satu orang dengan yang lain sangat berbeda.
(Hiks maaf ya kalau ternyata bagian tulisan ini tidak membuat bahagia….yang nulis aja pusing @_@)
Artinya apabila anda mengkonsepkan kebahagiaan dengan tingkat pemenuhan kebutuhan hidup maka tidak akan ada pernah kata cukup. Selalu saja manusia akan bergerak sampai dalam tingkatan kualitas (tingkatan kebutuhan yang berada di atasnya) dan secara kuantitas (jumlah kebutuhan). Akhirnya kita selalu dipusingkan dengan keinginan yang beraneka macam. Justru tidak akan pernah meraih apa yang disebut dengan emosi positif (kebahagiaan).
Demikian pula  saat melirik dan mulai membandingkan ke tetangga sebelah, teman atau ke rekan kerja terdekat. Lihat temen bikin status di FB punya barang apa atau baru pergi kemana bilangnya pamer. Tapi kalau kita baru punya barang apa, pengennya langsung up date status. Sama saja ketika merasa "paling" ketika melaksanakan atau mengerjakan sesuatu. Padahal OK-nya justru karena paling sesuai dengan kondisi kita. Pilihan terhadap bagaimana melaksanakan atau mengerjakan sesuatu dalam kehidupan tersebut belum tentu sesuai untuk kondisi yang berbeda. Dengan begitu tidak mungkin dapat menilai kebahagiaan berdasarkan kebahagiaan orang lain. Lagi pula terkadang kita lupa, ada unsur bahwa orang cenderung membanggakan apa yang mereka punyai. Bukan pada proses yang harus dilewati.
Sama halnya dengan ketika mempertanyakan pilihan dalam kehidupan. Saya ambil contoh saja bagaimana seorang ibu bekerja kemudian sering mempertanyakan bagaimana seandainya dirinya menjadi ibu rumah tangga.  Akhirnya dirinya tidak terfokus untuk mengerjakan apa yang sebaiknya namun justru menghabiskan energi untuk berandai-andai. Dalam kondisi apapun, pilihan adalah mutlak hasil pemikiran diri sendiri. Pilihan mungkin muncul dalam kondisi yang tidak diinginkan namun bagaimana memilih bukankah muncul karena keinginan kita. Direfleksikan dari pengalaman, kemudian dari berbagai kemungkinan; diambil yang terbaik. terus mengapa kita meragukan akan pilihan sendiri. 
Di sisi lain, sebenarnya kita dapat membuat diri bahagia dengan memulai dengan emosi positif baru kemudian bergerak untuk memenuhi kebutuhan. Artinya konsep tersebut akan melawan arah dari kedua teori diatas. Dalam teori di atas emosi positif terbentuk setelah berhasil memenuhi kebutuhan sedangkan dalam konsep terakhir memulai dengan kebahagiaan baru kemudian memenuhi kebutuhan. Bukankah kita sendiri yang dapat mengontrol bagaimana membentuk emosi positif….
Emosi positif justru membuat mampu meraih lebih banyak keinginan. Digerakkan oleh suatu kesenangan maka kemampuan dapat teroptimimalisasi. Berbagai kesulitan dapat terlewatkan sembari berkata “ah itu khan hanya hambatan kecil”. Digerakkan dengan motivasi maka kita dapat menjangkau sesuatu yang sepertinya tak teraih. Tanpa terpatok pada hierarki tingkatan kebutuhan, bisa kok memenuhi kebutuhan makan minum dengan aktualisasi diri. Tanpa membandingkan dengan orang lain, kita dapat berkata: “Ini cukup untuk aku…karena ini yang paling sesuai untukku.” Dalam kondisi begini ternyata butuh lebih banyak: “sometimes, cuek is the best”.
Kalau saya, tentu akan sangat bahagia sekali bila menikmati sarapan dengan secangkir teh panas di pagi hari (mengingat rush hour pagi: mulai menyiapkan anak-anak dan memilih pekerjaan yang akan di bawa ke kantor. Jadinya suka bikin teh tapi pas minum sudah dingin. He..he kelupaan). Kemudian di siang hari menyelesaikan pekerjaan dan datang bimbingan mengatakan:”Terima kasih ya mbak, akhirnya saya bisa memahami tulisannya”. Di sore hari maen dengan anak-anak dan bapaknya anak. Malam hari menjelang tidur di ngobrol bareng ayah, mengevaluasi  hari ini dan merencanakan target mendatang.  Ditutup, tidur dengan perasaan “besok pasti jadi hari yang lebih baik”.
Bukan berarti saya tidak memiliki harapan atau keinginan. Pengen beli ini atau pengen punya itu…tapi tidak saya posisikan menjadi suatu beban namun tujuan. Kalau saya dapat melewatkan kegiatan terbaik maka sisanya harus diserahkan pada Allah. Dia pasti tahu kok apa yang terbaik untuk saya…..Itu saya pahami bukan berarti tidak melewati proses untuk memahaminya sangat berat. Ternyata dengan berbaik sangka pada Allah, saya lebih banyak menyadari bahwa lebih banyak yang di dapatkan  dari apa yang diinginkan. Allah memberikan dengan tepat apa kebutuhan saya. Memberikan kekuatan untuk berkata tidak di saat seharusnya berkata tidak dan memberikan kekuatan untuk diam jika memang saatnya tidak mendatangkan manfaat bagi saya. Memberikan scenario besar yang di akhirnya baru dipahami sebagai ini memang benar-benar sesuai.
Pada akhirnya, saya berharap kita semua dapat berbahagia setiap hari. Bukan hanya karena dapat memenuhi kebutuhan atau keinginan namun padaj proses yang mampu dilewati. Melewati hierarki kebutuhan dengan selalu mengabdikan diri pada kebermanfaatan bagi diri sendiri dan orang lain. Mampu membentuk emosi positif bahkan di saat terburuk. Mampu melihat kebahagiaan di setiap tahapan hidup baik untuk  masa lalu karena hikmah yang dapat diambil, masa kini karena anugerah dapat menjalani pilihan dan masa depan untuk impian yang lebih baik.

Sabtu, 14 Mei 2011

APAKAH BAGI ANAK BELAJAR ≠ BERMAIN

Pertama-tama mari kita coba mengingat bersama pengalaman dengan kata “belajar” waktu kecil dulu. Bagaimana kita mesti dipaksa oleh orangtua kita ketika waktu untuk belajar. Klo gak kabur, menangis, merengek atau malah pura-pura sakit perut!!  
Saya sendiri pernah sampai bermimpi masuk ujian yang ternyata sudah dilakukan. Sampai saya protes…saya khan sudah ujian kelulusan kok ujian lagi. Kenapa saya balik lagi. Tidaaaaakkkkk….(serasa kaya bintang sinetron)
Ternyata tidak nyaman ya…
Sebaliknya bagaimana kalau belajar itu menyenangkan. Dilakukan sambil bermain.
Seandainya kalau kita bisa memasukkan konsep mengenal angka dengan menempel, menggunting dan mewarnai. Mengenalkan konsep menambah dan mengurangi dengan menggunakan permainan congklak alias dakon (itu lo mainan yang ada lubang-lubangnya berjejer tapi diujung kanan dan kiri ada lubang yang lebih besar. Kemudian biji permainan diambil dan dibagikan rata di setiap lubang). Bukankah matematika tidak hanya berupa rumus namun suatu ilmu yang membantu kita untuk berhitung di kegiatan sehari-hari.
Atau daripada anak harus mengingat tanggal-tanggal dalam mata pelajaran sejarah, digantikan dengan buku cerita mengenai sosok pahlawan/peristiwa tertentu, dan menonton film berdasarkan sejarah. Bukankah inti dari pelajaran sejarah adalah mengingat ada apa yang terjadi masa lampau dan kemudian mengambil nilai penting yang harus diteladani.
Efeknya ternyata sangat berbeda.. Itulah mengapa pentingnya muncul konsep bermain adalah belajar. Menggabungkan konsep bermain dan belajar ternyata membuat anak lebih enjoy menikmati proses. Melalui bermain, proses bagi anak untuk berinteraksi dengan mengkomunikasikan apa yang mereka rasakan (eksplorasi) yang digabungkan dengan pengalaman dan berujung pada proses refleksi berlangsung dalam suasana menyenangkan. Kemudian anak-anak dapat lebih mampu menggunakan kemampuan  imajinasi untuk membuat kesimpulan. Tidak ada pemaksaan.
Dalam kenyataan proses drill (memaksa belajar) juga hanya membuat anak menghafal. Akhirnya, ya itu mudah terformat ulang. Sekarang hapal, besok ditanya ya mbuh..
Selain itu, melalui permainan maka nilai-nilai dalam pembelajaran dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini dikarenakan proses belajar bagi anak berbeda dengan proses pembelajaran orang dewasa. Bagi anak-anak, memahami dan mengingat sesuatu yang mereka pelajari haruslah memiliki kebermaknaan dan berkaitan dengan pengalaman dan perkembangan anak. Jadi belajar harus merupakan hasil interaksi berpikir anak sendiri dan pengalaman menghadapi lingkungan. Bermain merupakan media untuk anak berinteraksi dengan pikiran mereka sekaligus dengan lingkungan. Dengan kata lain, bermain menjadi media praktek nilai belajar yang nyata dalam kehidupan mereka.
Diharapkan  proses bermain sambil belajar tidak hanya meningkatkan pemahaman bagi anak namun juga memunculkan motivasi keingintahuan lebih lanjut si anak. Jika pembelajaran akhirnya relevan dengan motivasi keingintahuan anak maka mereka akan mampu berkutat untuk belajar lebih lama. Enaknya kalau anak-anak gak usah dipaksa belajar…bahkan mereka nagih,”Yah..Bun ayo kapan kita mau gunting-gunting angka lagi”. Padahal….He..he mereka khan gak sadar klo kita sebenarnya mengenalkan angka.
Bagi orangtua, untuk memungkinkan anak bermain sambil belajar adalah dengan dengan memberikan peran memfasilitasi bukan sebagai pemberi intruksi. Dengan demikian orangtua harus mampu menciptakan suasana menyenangkan ketika memasukkan input belajar. Hal ini harus memperhatikan karakteristik anak. Misalkan pada anak dengan karakteristik visual maka kekuatan belajar anak pada indera ‘mata’, kekuatan auditorial terletak pada indera ‘pendengaran’ (mendengar dan menyimak penjelasan atau cerita), dan kekuatan kinestetik terletak pada ‘perabaan’ (seperti menunjuk, menyentuh atau melakukan). Jadi satu media belajar menyenangkan harus disesuaikan dengan karakteristik sehingga tidak memberikan beban. Jadi inilah mengapa kita sebagai orangtua harus memahami karakteristik anak (artikel Istimewanya Seorang Anak). Setelah itu buatlah proses pembelajaran yang langsung dapat diamati anak. Kalau memungkinkan aplikasikan dalam kegiatan sehari-hari.
Jangan lupa, input anak hanya dalam proses memperkenalkan. Jadi jangan memaksa anak untuk memunculkan hasilnya seketika. Alias mekso anak cepet iso. Proses adalah waktu.
Sebenarnya peran kita dalam proses bermain sambil belajar tidak mudah. Bahkan kalau saya bilang, berat!! Kita sendiri juga harus melewati proses menyenangkan diri dulu baru kemudian memfasilitasi. Berkreatif ria menciptakan media menyenangkan yang sesuai dengan anak. Apalagi membagi waktu dalam keseharian kita baik bekerja dan kegiatan social kemasyarakatan. Bahkan tidak sedikit orangtua yang masih bersekolah kembali. Tapi percaya..,,rasanya menyenangkan sekali melihat input anak yang mungkin kita sudah lupakan, tiba-tiba muncul. Seperti saya pernah menyanyikan lagu atas-bawah, kanan-kiri ciptaan sendiri sambil berjoget (Diperingatkan. Jangan membayangkan bagaimana saya berjoget. Huekkk!!) setelah sekian lama…tiba-tiba ketika ditanya temennya, Denia yang waktu itu berumur 2,5 tahun sudah bisa lancar menunjuk sebuah barang yang letaknya di bagian kanan atas rak. Terharu…

Kamis, 12 Mei 2011

BAGAIMANA BILA KESEMPATAN MENGEMBANGKAN POTENSI ITU DATANG (MENURUT ANDA) DI SAAT TIDAK TEPAT

Maksudnya ??....Ya kaya saya ini.
Baru bisa kuliah kembali setelah akhirnya mempunyai kesempatan (baik dana dan waktu) setelah usia 30 tahun. Kepengennya melanjutkan kuliah itu sudah ada sejak lama tapi ternyata kesempatan ini datang baru-baru ini. Akhirnya saya berkesempatan untuk kuliah kembali. Saya ambil jurusan berbeda dari kuliah yang dulu. Program regular lo bukan kelas pekerja. Jadi temen-temen kuliah saya adalah remaja-remaja (kebanyakan dari mereka baru saja lulus SMA kemudian langsung meneruskan masuk kuliah). Jadi bisa dibayangkan kikuknya saya harus kuliah bareng  anak-anak remaja. Beda generasi, beda nilai. Harus pula naik ke lantai 3. Jadwal kuliah dari pagi sampai sore. Menyesuiakan jadwal kegiatan dengan anak-anak saya, pekerjaan dan kegiatan rumah tangga. Gak kebayang ribetnya. Di angkatan tersebut, saya tidak menemukan teman yang seusia. Sama Sekali !! Gak salah khan kalau temen-temen kuliah kemudian memanggil saya Ibu atau Mama De***.
Bahkan saya baru saja bisa mengendarai kendaraan bermotor ( kemana aja Bu ???). Ha..ha Saya baru bisa mengendarai motor 8 bulan ini. Tapi jangan tanya, seminggu setelah bisa naik motor saya dan temen-temen kuliah saya sudah jalan-jalan di pusat kota Jogjakarta. Suami saya saja sampai heran. Next target adalah belajar nyetir mobil. 
Terakhir, saya juga baru bisa mengembangkan kebisaan untuk menulis. Jadi keberanian untuk mengembangkan menulis itu datang setelah sekian tahun lamanya. Ternyata menulis itu menyenangkan. Membuat saya mengekspresikan banyak hal yang telah dipelajari. Hiks, kenapa gak dari dulu ya.
Jadi ya itu intinya sih…kesempatan mengembangkan potensi ketika lewatnya waktunya. Tidak jarang khan kita menemui seseorang yang ingin mengembangkan potensi atau belajar kemudian berkata “Ah sudah tua, buat apa?”. Padahal lewat atau tidaknya waktu itu juga sebenarnya subjektif sekali. Mungkin bagi setiap orang tepat tidaknya menyadari bahwa ada potensi dan mengembangkan bisa saja sangat berbeda. Jadi sebenarnya tidak ada kata waktu tepat atau tidak ketika mengembangkan potensi.
 Tapi tahukah anda, bahwa ketika anda menyadari adanya potensi baru yang perlu dikembangkan dalam hidup merupakan suatu anugerah sangat besar. Anugerah yang harusnya sangat disyukuri. Cukup hanya dengan proses menyadari munculnya potensi baru menunjukkan bahwa anda telah belajar hal-hal baru. Potensi baru yang muncul merupakan reaksi kita akan perubahan dari lingkungan. Menyadari adanya perubahan yang disikapi dengan proses adaptasi. Menyadari bahwa da jalan keluar yang dapat dilakukan dalam perubahan. Anda berani keluar dari kepompong kenyamanan dan bertransformasi menjadi kupu-kupu cantik siap terbang. Artinya anda berani untuk membuat sebuah solusi dibandingkan hanya mengeluh dan mengeluh. Padahal itu hanya sampai proses menyadari.
Apalagi kalau anda kemudian benar-benar mampu meneguhkan hati untuk mengembangkannya.
Jangan pula kita meremehkan potensi apapun yang muncul dalam diri. Entah itu mungkin kemampuan memasak, menjahit, membuat aseksoris, keberanian untuk berbicara di depan orang atau seperti saya saat ini, menulis di blog. Semua potensi patut untuk dikembangkan. Dalam perjalanan hidup kelak, kita tidak akan pernah tahu potensi atau ilmu apa yang akan kita pakai. Kita juga tidak tahu potensi atau ilmu mana yang justru bermanfaat. Semua potensi tersebut akan saling melengkapi dan menjadikan kita sebagai sosok yang lebih baik.
Mengembangkan potensi tidak hanya dinilai dari apakah nantinya dapat menjadi sumber penghidupan. Ada efek lain yang justru sangat bernilai. Istilahnya ayahnya Denia dan Qila adalah melengkapi karakter diri (Ciah!! Kata-katanya: karakter diri. Psikologi banget yak). Proses pengembangan potensi baru akan meningkatkan wawasan di luar pemikiran. Memahami memahami adanya karakter yang berbeda (termasuk kekurangan, kelebihan, kelemahan dan kekuatan),  kemudian membuktikan kebermanfaatan diri baik kepada diri sendiri maupun lingkungan)  sekaligus memberikan kepercayaan diri.
Mulailah proses mengembangkan potensi tersebut dari hal yang paling mungkin anda lakukan. Baru kemudian memulai proses yang lebih berat. Jangan menyerah jika memang ada hambatan dan tantangan. Justru dari hambatan dan tantangan itulah kita dapat menilai indahnya sebuah pencapaian. Buah tidak akan dinilai manis apabila tidak ada buah yang asem.  Kaya kita kalau maen game itu lo!!Mulainya dari stage beginner nanti beranjak ke stage advance. Mulainya melawan musuh yang cemen2 selanjutnya beranjak ke biang-biangnya. Pertama maen ilmunya juga cethek lama-lama keluar deh senjata penumpas si musuh yang kaliber berat. Wuahhhh…jadi ketahuan klo mantan pencandu game.
Jangan lupa, pertimbangkan pula dukungan yang anda miliki baik dari segi waktu, dana serta factor-faktor lain. Jagalah proses tersebut. Tidak ada proses yang tidak mengalami hambatan dan tantangan khan.
Jadi berbanggalah kalau anda mampu menyadari bahwa di sekian bertambahnya umur, masih ada potensi baru yang bisa dikembangkan. 

Rabu, 11 Mei 2011

BAGAIMANA CARA MENGATASI SIBLING RIVALRY (PERSAINGAN ANTAR SAUDARA)

Dalam ilmu psikologi, Sibling Rivalry diartikan sebagai permusuhan dan kecemburuan antara saudara kandung yang menimbulkan ketegangan diantara mereka. Bahasanya sih keliatan keren….padahal banyak orangtua dalam lingkungan saya yang mengeluhkan akibatnya (padahal saya dan Ayah iya juga sih). Hampir sebagian besar konflik anak yang memiliki saudara dikarenakan sibling rivalry ini.
Ceritanya, saat kelahiran anak kedua (Qila) muncul satu permasalahan yang sebenarnya telah diantisipasi..yaitu kecemburuan si Kakak (Denia) akan kehadiran adik. Pertamanya sih cemburunya Denia hanya keliatan saat si Ayah atau Mbu menggendong si adik. Kalau saya sedang menggendong Qila, Denia yang biasanya mandiri berubah minta harus ditemani Mbu. Begitu juga sebaliknya dengan Ayah…Waktu itu, Denia yang jarang merengek  berubah menjadi sering bad mood. Terakhir adalah ketika saat pembantu saya pulang tiba-tiba Denia berkata “Mbak, adiknya (maksudnya Qila) dibawa pulang aja”. Lah…!! Saya dan Ayah langsung shock.
Terus terang saya merasa sangat kecewa dengan diri sendiri ketika melihat ternyata kecemburuan Denia tetap muncul. Saya takut bahwa apa yang dilakukan selama ini salah atau kurang. Pokoknya bingung banget, bagaimana cara menselesaikan kecemburuan mbak Denia ini. Sebenarnya ketika proses kehamilan Qila , Denia sudah dipersiapkan untuk menyambut kelahiran adik. Saya mengikutkan Denia dalam setiap aktivitas ketika hamil dan persiapan kelahiran. Bercerita bagaimana seorang adik akan melengkapi keluarga kami..Saya sering berbicara dengan Denia ”adik nantinya memang banyak menangis. Masih minta banyak dibantu…seperti mbak Denia ketika kecil dlu. Nanti Denia ikut bantu Mbu dan Ayah ya, membantu menjaga adik. Nanti kalau sudah besar, mbak Denia dan dik Qila bisa main bareng. Bisa saling jaga. Gak sepi sendiri”. Begitu pula kalau ada perlengkapan Denia yang dipakai adik, saya akan menjelaskan bahwa perlengkapan ini memang milik Denia tapi karena sudah tidak muat, dipakai untuk si adik. Mengajak Denia ketika saya memeriksa kehamilan (ikut melihat si adik ketika di USG). Pokoknya prosesnya saya ulang-ulang..tapi kok tetep keluar ya cemburunya
Saya kemudian mencoba proses mencari-cari dengan membaca beberapa sumber dan akhirnya mendapatkan beberapa fakta. Pada kenyataannya yang dinamakan sibling rivalry akan selalu muncul. Entah saat si adik baru dilahirkan atau nantinya ketika mereka berkembang bersama. Bukan pada masalah saya kurang dalam mengantisipasi kecemburuan anak. (Denger kaya gini langsung hati jadi adem…cessss). Bentuknya sibling rivalry juga bisa macam-macam. Ada yang  cemburu/iri ketika melihat saudaranya mendapatkan perhatian ayah ibunya, saling mengejek satu sama lain, menunjukkan kepada saudaranya bahwa dia dapat melakukannya dengan baik atau bahkan lebih baik, bertengkar, dan memukul/menjambak rambut/mendorong hingga saudaranya terjatuh. Bahkan ada bentuk-bentuk dari sibling rivalry yang sebenarnya tidak secara langsung terlihat. Salah satunya (dari temen yang bercerita) bagaimana anak yang telah lama tidak mengompol, kembali mengompol setelah adiknya lahir.
Munculnya sibling rivalry dikarenakan perkembangan egosentris anak. Konsep egosentris adalah konsep dimana anak sedang mengembangkan konsep ke-aku-an termasuk diantaranya mengakui “Ayah dan Ibu hanya untukku”. Egosentris tidak selalu mengarah sesuatu negative tapi nantinya konsep egosentris tersebut berhubungan dengan kemampuan anak untuk memandang dirinya. Kalau si anak tidak mengukuhkan dirinya melalui egosentris maka dirinya tidak akan mampu menanggapi perbedaan yang dimiliki terhadap karakteristik berbeda dengan orang, kepercayaan diri, beradaptasi, memahami nilai-nilai toleransi dll..pokoknya banyak banget (ide baru buat tulisan nih. *ting…ting*)
Selain itu juga ada perkembangan anak ketika menghadapi konflik alias manajemen konflik. Di setiap tahapan umur (bahkan ketika dewasa) manajemen konflik dan konsep egosentris mengalami perubahan. Setiap masa perkembangan anak akan mempunyai cara pandang berbeda yang berpengaruh pada cara mereka menselesaikan konflik. Ketika perkembangan manajemen konflik mampu diarahkan pada sisi baik maka anak akan mampu membangun jalur penghubung antara bagian otak emosional dan bagian otak logika. Anak-anak yang demikian ketika menghadapi konflik akan berupaya untuk mencari solusi dibandingkan meluapkan emosi secara berlebihan. Nah ini dia, penting…penting banget!! Berharap ya Yah dan Bun..anak-anak kita kelak bisa begitu. Amien.
Meskipun fakta di atas menunjukkan bahwa konflik antar saudara sebagai bagian dari perkembangan anak, namun  sibling rivalry harus tetap diselesaikan. Harus!! Kelak apabila sibling rivalry tidak terselesaikan maka ditakutkan konflik justru semakin membesar dan berdampak pada setiap orang yang berada dalam lingkungan mereka. Salah satu contoh kasus dari sibling rivalry yang tidak diselesaikan dengan baik adalah kutipan di bawah ini:
“ Saya, 23 tahun, anak ke 9 dari 11 bersaudara, sudah tidak tahan menghadapi, melihat, mendengar sesuatu yang ada hubungannya dengan kakak laki-laki sulung saya, sebut saja B (37 tahun). Dia sudah berkeluarga dan memiliki 3 anak, tetapi masih tinggal bersama orangtua. Dari kecil, sejak saya dapat menyimpan memori, kakak sulung saya ini sudah sangat-sangat-sangat…membuat orang lain merasa tersiksa, menderita, teraniaya batin (pernah juga fisik). Kadang kami bangun malam hari sebab ia berkelahi dengan kakak yang lain. Perkelahian ini bukan yang biasa, tetapi seperti perang saja. Tiap kali berkelahi orangtua menyembunyikan benda-benda tajam. Pernah dia berkelahi dengan kakak yang sudah menikah, yang ketika itu masih tinggal bersama orangtua. B mengusir kakak saya dan bilang kalau sudah menikah harus tahu diri, jangan menumpang terus pada orangtua. Padahal dia sendiri sampai punya anak tiga masih menumpang. Munafik ya Bu. Orangtua sering membantu dia, juga saat membuka swalayan kecil. Tetapi dia malas menjaganya. Kadang-kadang berkelahi dengan istrinya sebab dia mau tidur siang-meski bangunnya sudah siang, padahal toko sedang ramai. Istri B juga sama saja. Pernah mereka berkelahi dengan kakak nomor tiga Ketika B sudah agak tenang, istrinya memanas-manasi. Sampai barang-barang milik kakak nomor tiga dirusak, bajunya disobek-sobek dan alat elektronika dicoret dengan paku. Tetapi orangtua menutupi kejadian itu, bajunya dijahit lagi, dan alat elektronik diperbaiki. Dia juga mau menguasai barang-barang di rumah. Tak terhitung banyaknya barang miliki orangtua, kakak-kakak, bahkan punya saya yang masuk ke paviliun dia dan tidak bisa diambil lagi. Dia menggunakan mobil orangtua sesuka hatinya. Kalau adiknya mau pakai dia bilang manja banget, tidak mau naik kendaraan umum. Pernah dia akan pergi, mobil dipakai orangtua menengok orang sakit dengan diantar kakak. Pulangnya dia marah-marah, padahal yang punya kan orangtua. Sampai anak-anak B menganggap mobil itu punya Papa mereka dan orangtua dianggap meminjam.” ( artikel Kompas yang dikutip dalam http://kurniawan.staff.uii.ac.id/2008/09/02/konflik-saudara-kandun/.)
Sebenarnya sih banyak contoh yang bisa di angkat namun intinya sama bahwa Sibling Rivalry harus diselesaikan dengan bantuan orangtua. Kita jadi bisa membayangkan seandainya sibling rivalry tidak segera diselesaikan oleh orangtua. Muncul perasaan dikalahkan, ketidakdilan dan ketidakpuasaan bagi si anak. Hal ini tidak menutup kemungkinan makin berkembang dan muncul kekerasan antar saudara.
Hal ini beda dengan sibling rivalry yang mampu diselesaikan dengan baik. Ketika  para ibu dan ayah mempersiapkan si Kakak ketika dengan cara mendiskusikan perasaan-perasaan dan kebutuhan-kebutuhan anak yang baru lahir dengan anak-anak yang lebih tua, maka anak-anak yang lebih tua akan lebih menyayangi adiknya. Demikian pula dengan responsivitas para ibu dan ayah terhadap kebutuhan-kebutuhan anak perempuan yang lebih muda berkorelasi positif dengan kemampuan berbagi dan menghibur anak yang lebih muda terhadap anak yang lebih tua. Dengan demikian nantinya (suatu saat) ketika mereka tumbuh dewasa, mereka akan menjadi bersaudara yang saling melindungi dan menjaga.
Sedangkan manfaat terhadap hubungan interpersonal anak ketika sibling rivalry terselesaikan dengan baik maka anak-anak akan belajar bagaimana mereka harus menyesuaikan diri dengan orang lain. Anak-anak akan belajar bagaimana bernegosiasi dan berkompromi dengan orang lain. Anak-anak akan belajar bagaimana mengembangkan pemahaman tentang keberadaan orang lain sekaligus menghargai perasaan orang lain. Hubungan antar saudara kandung juga akan mengajarkan kepada anak-anak bahwa hidup ini tidak selalu adil dan membantu mereka untuk menerima kenyataan tersebut. Anak-anak akan belajar kesabaran dan toleransi terhadap pandangan-pandangan yang berbeda. Anak-anak akan belajar tentang batasan-batasan orang lain dan bagaimana menerapkan batasan-batasan mereka
Nah dari artikel http://kurniawan.staff.uii.ac.id/2008/09/02/konflik-saudara-kandun/ ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menselesaikan sibling rivalry tersebut: (1) otoritas (memakai kekuasaan untuk mengakhiri konflik) (2) mediasi/informasi (memberikan saran-saran, informasi) (3) distraksi (mengubah focus atau mengalihkan pada isu-isu non konflik) (4) direktif (secara verbal dan atau fisik membatasi atau mengontrol anak-anak dari konflik yang lebih berbahaya) (5) manajemen antisipatori (melatih kemampuan anak-anak yang lebih muda dalam mengenali perasaan-perasaan dan keinginan-keinginannya ketika berinteraksi dengan saudara kandungnya yang lebih tua) dan (6) interaktif (ikut terlibat secara verbal dan/ atau fisik bersama dengan anak-anak dalam bermain, permainan, dan ketika mereka membaca buku-buku. Terkadang dalam menselesaikan konflik sibling rivalry juga membutuhkan pendekatan non intervensi yaitu ketika orangtua. Bingung yak mau pilih yang mana @_@.
Benernya sih Yah…Bun semua boleh diborong. Disesuiakan saja dengan kondisi.. Cuma bagaimana cara penyesuaian juga harus didasarkan beberapa hal. (Sekali lagi berdasarkan artikel tersebut) ada beberapa factor yang mempengaruhi peran orangtua dalam membantu menselesaikan sibling rivalry yaitu (1) keyakinan (belief) yang dimiliki orangtua  (2) stereotip orangtua atas anak-anaknya (3) jenis kelamin orangtua, dll.
 Intinya sih….faktor-faktor diatas membantu kita sebagai orangtua untuk lebih berhati-hati dalam membantu anak-anak ketika berselisih. Jangan sampai styreotipe dan keyakinan seperti bahwa anak tertua harus mengalah dan anak-anak selanjutnya dimenangkan, atau anak laki-laki harus lebih dominan daripada anak perempuan mempengaruhi strategi kita dalam menselesaikan konflik bersaudara. Jangan pula sampai muncul pengaruh jenis kelamin seperti pandangan bahwa ayah (laki-laki) hanya bisa melakukan pendekatan otoriter sedangkan si ibu (perempuan) hanya bisa menggunakan pendekatan mediator. Favoritisme para orangtua terhadap salah satu anaknya, misalnya, akan membuat hubungan antar saudara kandung lebih banyak diwarnai permusuhan dan agresi. Di setiap konflik perlu penanganan berbeda sehingga membutuhkan kemampuan penguasaan pendekatan terbaik demi keputusan berimbang. Jadi ngrasa kaya di pengadilan gitu gak sih…..jadi kaya hakim. Ha…ha…
 Oh iya Yah…Bun ada tambahan, orangtua secara berangsur-angsur harus memberikan kesempatan si anak untuk memulai mengambil keputusan sendiri. Momentnya disesuiakan dengan perkembangan anak yaitu ketika anak mulai belajar menghubungkan emosi dan berlogika serta mulai memasukkan pertimbangan selain kebutuhannya saja. Hal ini bertujuan supaya si anak mulai mandiri dalam mengambil keputusan. Belajar bertanggung jawab.
Fiuhhhhh….tulisannya lagi-lagi serius dan panjang banget. Cuma bisa berharap: Semoga bisa membantu…..
Lawrence E Shapiro, Mengajarkan Emotional Intelegence Pada Anak, Gramedia, Jakarta, 2003.
Goleman, Emotional Intelegence, PT Gramedia Pustaka, Jakarta, 1999
Janine Amos dan Annabel Spenceley, Mengapa Bertengkar?, Seri Problem Solvers, Penerbit Kanisius. Jogjakarta,  2004


Senin, 09 Mei 2011

MENGENALKAN KONSEP KESABARAN MENUNGGU KEPADA ANAK.

Pernah mendengar komentar orang tua (atau kita sendiri) kepada anak-anaknya dengan mengucapkan kata-kata…”Anak kok gak pernah sabar. Apa-apa maunya sekarang. Kaya gak ada waktu lain kali aja”…Dalam keseharian komentar ini ternyata sering kita dengarkan (lakukan).  Sepertinya anak-anak dan bayi memang punya  sifat tak sabaran ya…Minta dibuatkan susu dengan merengek seolah-olah  kita yang membuatkan susu kurang cepat ketika menyiapkan. Padahal kita juga gak kalah cepat. Sudah kaya tim buru sergap. Masih saja anak kita merengek. Sama halnya ketika dijanjikan untuk dibelikan mainan atau diajak pergi maka setiap 5 menit anak kita akan bertanya..”Yah..Bu kapan kita berangkat ?” atau malah justru menangis berteriak dan mengucapkan kata ”Harus Sekarang”. Demikian pula ketika anak diajak bepergian..setiap kali kilometer bertambah si anak akan berkata “are we there yet (wis tekan durung yo yah/bu)”. Singkatnya pokoke nggriseni/membuat risih banget….

Tenang Ayah..Ibu..itu bukan berarti anak kita nantinya bersifat kurang sabar. Kenyataannya bahwa bayi dan anak-anak memang belum mengenal konsep sabar. Anak belumlah mengenal bahwa konsep sabar berarti harus menunggu dan ada proses yang harus dilalui. Hal itu secara wajar (natural) akan dilalui oleh setiap anak dalam perkembangannya. Memang kadarnya berbeda antara satu dengan yang lain tapi sifat kurang sabar tersebut memang ada dalam setiap anak.

Sikap kurang sabar ini telah dibuktikan dalam pengujian secara psikologis. Pada tahun 1960-an, Dr Walter Mischel's professor psikologi pemerhati perkembangan anak mengembangkan sebuah eksperimen untuk menguji seberapa besar tingkat kesabaran pada anak-anak. Pada eksperimen tersebut dikumpulkanlah beberapa anak yang berusia sekitar 4 tahun. Mereka diuji dengan diberikan sebuah permen (marshamallow) dan diintruksikan untuk tidak memakan permen tersebut dan menunggu selama 20 menit. Bila mereka berhasil menunggu maka mereka akan diberikan reward. Reward berupa penambahan jumlah permennya.

Eksperimen ini juga sudah dibahas sebagai salah satu materi pengajian di sekolah anakku. Pembicara merupakan dosen psikologi UGM…tapi saya lupa namanya. Hiks….maaf. Dalam materinya disebutkan bahwa hasilnya justru sebagian besar memakan permen tersebut. Berapa besarnya perbandingan antara anak yang memakan dan tidak, sekali lagi saya lupa. Mohon  maaf ya…hal ini menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil saja yang berhasil melewati waktu dan tidak memakan permen tersebut.
Ayah dan bunda dapat melihat rekaman bagaimana pelaksanaan eksperimen tersebut kok!!. Link saja di ke  Kids Marshmellow Experiment 

Dalam artikel lain disebutkan bahwa sikap anak kurang sabar disebabkan oleh perkembangan otak anak sendiri. Bagian prefrontal otak anak yang menjadi daerah pengaturan pengendalian diri ternyata belum mengalami perkembangan secara maksimal.

Jadi ayah dan bunda tercinta tidak usah khawatir kalau menemui sikap anak tidak sabar. Saya sendiri ketika mendengar materi ini jadi terharu. Membayangkan ternyata selama ini baik Denia dan Qila  sudah sangat berusaha untuk bersabar. Menunggu janji saya untuk keesokan harinya atau bahkan bahkan dalam waktu yang lebih lama. Huuah…anakku. Maafkan Ibu ya Nak. Ternyata selama ini Ibu yang kurang sabar. Pelajaran baru ketika pengajian: Terkadang kita sebagai orangtua yang sebenarnya perkembangan pengendalian diri matang justru menunjukkan sikap tidak sabar…..

Terus apakah ketika itu menjadi bagian alami perkembangan anak membuat kita sebagai orangtua kemudian mendiamkan. Jawabannya adalah tidak. Kita sebagai orangtua harus membantu si anak. Berdasarkan hasil penelitian tersebut diketahui bahwa kelak perkembangan kesabaran anak juga sangat berhubungan dengan proses mereka dalam beradaptasi dan kemandirian. Anak yang memiliki kesabaran untuk menunggu saat terlibat eksprimen tersebut menunjukkan bahwa ketika memasuki usia 14 tahun mendapatkan nilai tinggi dalam test kemampuan beradaptasi dan kemandirian.

Sekarang bagaimana peran kita sebagai orangtua untuk membantu si anak melewati fase perkembangan tersebut. Beberapa cara yang dapat kita lakukan untuk mengenalkan konsep kesabaran pada anak. Salah satunya adalah melibatkan si anak dalam berbagai aktivitas. Misalkan ketika anak meminta dibuatkan susu, perlihatkan proses yang harus dilakukan sambil bercerita apa yang sedang kita lakukan. Dari mengambil botol susu, mengisinya dengan susu kemudian baru menambahkan air. Di akhir proses ketika membuat susu, anda dapat menambahkan pesan sebagai kesimpulan. Kesimpulan tersebut menekankan bahwa kesabaran adalah menunggu proses yang sedang berlangsung. Proses ini dapat dimulai dari sedini mungkin. Untuk anak yang sudah mengenal logika (sebab akibat) proses mengenalkan kesabaran akan lebih mudah.

Boleh juga kalau si anak suatu saat harus mengalami suatu aktivitas baru yang ternyata membutuhkan kesabaran maka kita membantu dengan menjelaskan bagaimana proses tersebut berlangsung dan apa yang harus dihadapi si anak. Harapannya si anak dapat memperkirakan proses apa yang akan dilewati.
Hal lain yang dapat kita lakukan adalah membesarkan hati baik ketika dirinya melewati maupun tidak melewati proses menunggu. Berikan pujian ketika si anak dengan hebatnya telah berhasil menunggu. Sebaliknya motivasi si anak untuk lebih sabar menunggu ketika dirinya belum melewati proses tersebut.

Peran orangtua juga penting dalam menjadi contoh…jangan sampai kejadian seperti yang dialami ayah Denia terulang. Jadi ceritanya ketika ayah sedang naik kendaraan bersama Denia ternyata si Ayah sudah jalan ketika counter lampu merah kurang 1 detik …Tidak diduga Denia dengan polosnya bertanya, “Yah, khan tadi masih lampu merah. Kok kita sudah jalan”. Ups…ayah langsung shock. Akhirnya si ayahnya Denia ini kemudian menjelaskan bahwa tadi kurang satu detik dan pas mulai jalan sudah hijau, namun Ayah juga minta maaf dirinya memang sedang khilaf dan tidak akan mengulangi lagi (Janji ya Yah.!!!). Bagi saya, Mbu dan Ayah; sepertinya tugas menjadi contoh ternyata tugas paling berat.

Referensi

Minggu, 08 Mei 2011

Menulis Itu Menyenangkan (2)……

Sebenarnya agak beban juga untuk menulis artikel ini. Mengingat saya merasa belum segitunya berpengalaman. Setidaknya, artikel ini dapat berbagi pengalaman mengenai cara mudah untuk menulis. Artikelnya pun jadi berkesan sedikit serius...

Setelah tulisan pertama membahas mengenai manfaat serta pengalaman saya menulis, dalam serial kedua ini kita akan membahas mengenai bagaimana cara menulis mudah. Menulis yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah tulisan untuk blogger saja sedangkan untuk mengembangkan bakat menulis sebuah karya sastra seperti cerpen atau novel tentunya ada langkah-langkah yang berbeda. Terus terang untuk menulis karya sastra, ilmu saya tidak mencukupi dan tidak PD…he…he.

Bagi saya, menulis itu sama dengan bercerita. Kebanyakan orang, menulis bukan kebiasaan. Lebih banyak dari kita terbiasa untuk bercerita lisan. Baik menulis maupun bercerita/bertutur mengandung unsur sama yaitu tema, pesan serta kedetailan penuturan. Hanya saja menulis berbentuk tulisan sedangkan bercerita atau bertutur dalam bentuk lisan. Unsur-unsur tersebut mendasari saya ketika memaparkan bagaimana menulis dengan mudah. Dimulai dari langkah-langkah untuk menentukan tema, pesan serta penyusunan detail tersebut.


Selanjutnya saya akan memaparkan langkah pertama  yaitu menentukan tema. Tema adalah ide pokok tulisan. Fungsi tema sebagai kerangka besar yang menentukan arah dan tujuan penulisan. Kalau tema sudah ditentukan maka tulisan tidak akan melantur kemana-mana. Dengan kata lain tema membantu penulis untuk focus di sebuah bahasan saja.
Tema bisa diangkat dari berbagai hal. Pengalaman hidup, dari tulisan orang lain (kalau memang dimasukkan sebagai sumber, di sebutkan ya pustakanya), dari sharing teman-teman. Banyak hal khan bisa kita gunakan sebagai tema. Sekedar curhat juga gak apa-apa kok. Tokh sekedar tulisan curhat  kemudian tidak menjadi penentu pentingnya sebuah pesan di hadapan pembaca. Kalau melalui tulisan curhat membawa pesan yang lebih baik dari tulisan lainnya ya dituangkan saja. Intinya curhat tidak membatasi pentingnya pesan yang akan ditangkap oleh pembaca khan…………………

Selain itu tema juga membantu anda untuk menentukan pesan yang ingin disampaikan ke pembaca. Ini langkah saya yang kedua, pesan. Pesan adalah nilai-nilai penulis yang ingin disampaikan ke pembaca melalui tulisan tersebut. Kalau tema, saya ibaratkan sebagai kerangka maka pesan adalah ruh sebuah tulisan. Ini menyebabkan mengapa tidak ada tulisan  tanpa berisikan muatan pesan. Sekarang terserah pada si penulis apakah mau disebutkan dalam tulisan secara implicit  atau eksplisit . Oh iya pesan seringkali saya gunakan untuk menentukan judul.

Baru setelah kedua hal tersebut ditentukan maka penulis akan menguraikan tema dan pesan melalui tulisan. Kalau anda kesulitan untuk menentukan apa saja yang ingin diuraikan…buat saja beberapa point-point penting. Umumnya point pertama digunakan sebagai pendahuluan. Isinya adalah mengajak pembaca memahami mengapa pentingnya tulisan ini dibuat serta apa yang mendasari anda tertarik untuk menulis. Untuk point terakhir digunakan untuk menyampaikan penutup yaitu kesimpulan dari tulisan. Saran atau rekomendasi juga bisa dimasukkan sebagai closing. Baru dari setiap point tersebut ditambahkan detail-detail. Patut diingat bahwa fungsi detail dalam tulisan untuk memperjelas. Bukan untuk membuat cerita di dalam cerita. Detail namun tetap fokus
Seberapa banyak detail yang ingin anda masukkan tentu saja tergantung selera. Itulah mengapa setiap tulisan menjadi cara yang baik untuk mengekspresikan diri. Setiap orang punya cara untuk mengekspresikan diri melalui kedetailan tulisan. Istilah untuk mengenal bagaimana seorang pengarang dalam mengekspresikan diri dalam tulisan disebut sebagai gaya bahasa. Gaya bahasa seorang penulis lain dengan lainnya sangat khas. Gaya bahasa tidak bisa ditiru. Paling yang bisa dilakukan seorang penulis untuk menyamakan gaya bahasa adalah pada tingkatan mirip. Mirip ....bukan sama. Jadilah diri anda sendiri ketika menulis.
Ada beberapa hal yang dapat membantu untuk menentukan detail tulisan. Kekayaan pengalaman si penulis menjadi hal utama. Oleh karenanya sebagai penulis yang baik maka anda harus banyak membaca, mengamati dan belajar dari pengalaman orang lain. Dalam tulisan “menulis itu menyenangkan” pertama, saya pernah menulis bagaimana Pramoedya perlu melakukan riset untuk menyusun buku Panggil Aku Kartini Saja. Demikian pula bagi seorang penulis di blogger, membaca, mengamati dan belajar dari pengalaman orang lain sangat menentukan kedetailan tulisan.

Beberapa hal lain yang juga harus diperhatikan adalah kesantunan. Blogger seperti halnya tulisan artikel juga memiliki pedoman dalam menulis. Jangan memasukkan tulisan bermuatan SARA, provokatif atau hal-hal negatif. Patutnya kita menyaring dulu tulisan yang akan dimuat. Blogger itu memang membebaskan kita untuk menulis namun tetap bertanggungjawab.

Oh iya sering-seringlah berlatih.…Kemudahan untuk menulis juga di dasarkan pada keseringan kita melakukan. Semoga tulisan ini dapat lebih banyak memotivasi dan membantu anda untuk mengembangkan potensi menulis. Mari menulis….menulis itu menyenangkan !!

Sabtu, 07 Mei 2011

ISTIMEWANYA SEORANG ANAK….

Tulisan berikut saya sarikan dari artikel yang ada di Buletin Komite Sekolah anak saya….
Di sebuah hutan yang penuh binatang dengan berbagai kemampuan sepakat untuk mendirikan sekolah. Setiap induk binatang berkeinginan untuk memasukkan berbagai kemampuan sebagai mata pelajaran yang harus ditempuh oleh anak binatang. Setiap orangtua binatang berkeinginan untuk memasukkan pelajaran berlari, melompat, berenang, menggali dan memanjat pohon. Setelah rapat sekian lama, akhirnya para induk binatang memutuskan bahwa seluruh pelajaran tersebut penting dan harus dikuasai oleh anak binatang. Diputuskan bahwa akhirnya seluruh anak binatang akan menerima pelajaran tersebut.
Akhirnya setiap anak binatang kemudian mengikuti  pelajaran tersebut. Anak macan yang memiliki potensi untuk berlari dan menerkam, akhirnya harus pula belajar untuk berenang. Demikian pula anak kangguru yang berpotensi untuk melompat tinggi harus pula belajar untuk berlari kencang dan berenang. Di setiap hari pelajaran berlangsung setiap anak binatang  kelelahan dalam menempuh seluruh pelajaran yang harus diikuti. Hasilnya, anak binatang bukannya mulai bertambah kemampuan baru namun justru mulai kehilangan potensi alami yang dimiliki.

Inti dari cerita di atas adalah setiap anak pasti memiliki karakteristik berbeda dengan potensi yang berbeda pula. Hal ini menjadikan setiap anak istimewa. Dengann demikian setiap anak memiliki karakteristik khusus yang tidak bisa dibandingkan satu dengan lainnya. Jadi bagi orang tua jangan rendah hati jika dalam masa perkembangannya, anak hanya unggul di satu atau beberapa mata pelajaran. Misalkan anak hanya unggul dalam mata pelajaran kesenian namun kurang dalam pelajaran matematika atau sebaliknya anak unggul dalam mata pelajaran bahasa Indonesia namun kurang dalam berolahraga.

Tulisan ini aku baca di sebuah bulletin yang diterbitkan di sekolah anakku. Pas banget ketika aku sedang kebingungan menghadapi persiapan ketika anakku memasuki TK. Dari sharing beberapa teman ketika mereka memasukkan anak masuk TK ternyata ada wawancara yang menanyakan mengenai perkembangan anak. Bagaimana kemampuan menggambar? Bagaimana kemampuan mengenali angka dan huruf? Bagaimana kemampuan motoris halus dan kasar?...seluruh pertanyaan ini diajukan ketika persiapan memasuki sekolah. Aku membayangkan mau masuk TK saja pake wawancara sesulit ini…bahkan menurutku lebih sulit dari wawancara kerja. Kalau wawancara kerja khan kita meperesentasikan diri kita sendiri yang mungkin tahapannya sudah dapat mengenali kemampuan diri dengan baik. Kalau masuk TK, anaknya aja bener-bener baru berkembang..kalau istilah seorang pembicara...”diibaratkan mau bikin bubur kacang hijau. Kacang hijau-nya belum mlethek (hayo!!…coba dicarikan padanan kata dalam Bahasa Indonesia. Paling deket sih padanan kondisinya adalah kacang hijau dalam keadaan mau pecah)..sudah dikasih gula dan lain-lain.” Baru memulai prosesnya sudah harus dinilai……

 Kemudian muncul pertanyaan: Bagaimana caranya mengenal karakteristik anak? Nah di sinilah berperan tugas orang tua utama yaitu mengenali karakteristik anak. Apakah sulit untuk mengenali karakteristik anak? Sebenarnya sih, mengenali karakteristik anak sudah menjadi insting alami orang tua lo…Bukankah, kita yang melahirkan, mendampingi selama perkembangannya. Melewati waktu melihat apa kesukaan sekaligus ketidaksukaan mereka. Melewati saat-saat dimana titik kebosanan terakumulasi. Menurut saya sih sebenarnya mengenali anak sudah muncul dalam diri kita sebagai orang tua. Jadi kita, untuk mengenali anak harusnya tidaklah membutuhkan bantuan sebuah alat yang mendasarkan kecenderungan garis tangan dengan kerakteristik anak. Tapi kalau anda berusaha meyakinkan diri…ya gak pa-pa.
Baru dari tugas mengenali karakteristik anak kemudian berlanjut dengan tugas untuk memilihkan metode paling baik (sesuai) dengan perkembangan anak. Semua pemilihan metode tersebut tentunya berbeda antara orang tua satu dengan yang lain. Anda boleh (harus malah) kemudian bertanya dengan orang tepat untuk berkonsultasi bagaimana seharusnya metode yang tepat bagi anak.

Kalau anda bertanya…bagaimana dengan saya…he…he…ya jelas masih harus banyak belajar.  Untuk mitra paling setia dan memfasilitasi..ya suami.  Kalau saya, karena keterbatasan sumber serta saya harus membagi waktu dengan pekerjaan, akhirnya memilih mitra sekolah. Gurunya sangat membantu saya ketika menghadapi perkembangan Denia. Menghadapi saat trantum atau memotivasi Denia ketika bosan. Atau menghadapi Qila ketika muncul persaingan antar saudara. Sampai batas apa yang harus saya lewati untuk memberikan input . So...metode di sekolah dapat bersatu dengan di rumah. Untuk sumber lain saya memilih buku. Alternatif sumber lain adalah seminar bahkan beberapa teman saya mengikuti sebuah kegiatan komunitas pemerhati pendidikan anak-anak untuk ikut belajar. Belajar sama mbah goo** juga boleh dipertimbangkan. Tidak ada proses selesai ketika belajar untuk memilih metode yang baik bagi anak. Setiap tahapan anak pun butuh ilmu baru…Orangtua juga harus belajar terus menerus.

Selain pertanyaan di atas sda beberapa hal lain yang juga harus diperhatikan…prosesnya mengenali dan mengembangkan karakteristik anak  butuh waktu lama. Dalam buku psikologi anak yang saya baca, memang ada beberapa karakteristik bawaan ketika anak-anak lahir. Perkembangan tersebut kemudian akan berubah-ubah sesuai dengan input ketika menghadapi lingkungan (termasuk kita sebagai orangtua). Jangan putus asa, kalau hasilnya tak segera terlihat. Kalimat yang membesarkan hati saya ketika menghadapi tumbuh kembang Denia dan Qilla adalah “Sudah jadi tugas orang tua untuk membekali sebaik-baiknya…bahkan ketika itu tak terlihat hasilnya saat ini. 

Mungkin suatu saat”. Tidak perlu takut atas penilaian “saat ini” mengenai kekurangan anak kita. Yakinlah pada diri kira bahwa proses mengenali dan mengembangkan anak memang dibutuhkan oleh kita dan si anak. Jadi….Proses mengenali dan mengembangkan karakteristk anak seperti menanam pohon…kita tidak akan pernah tahu kapan hasil stimulus akan muncul.


Pokoknya kalau membahas perkembangan anak sepertinya memang tidak ada habisnya ya. Selalu ada sisi yang harus dieksplorasi. ..selalu ada ide yang dapat dituangkan. 

Rabu, 04 Mei 2011

MERAWAT HEWAN PELIHARAAN

Dedicated to almarhum dan almarhumah segala jenis hewan peliharaan yang telah dirawat oleh keluarga kami……………………………………..
Dalam rangka untuk memberikan pelajaran bertanggung jawab dan kasih sayang kepada Denia, akhirnya aku dan suami memutuskan untuk merawat hewan peliharaan.  Menurut buku bimbingan perkembangan anak, hewan peliharaan dapat mengembangkan kecerdasan emosional anak. Diantaranya karena mengajarkan tanggung kepada anak, mengajarkan arti penting proses-proses  dalam kehidupan (kematian, kelahiran, perkembangan). Memberikan cinta, kesetiaan, perhatian dan kesenangan secara tanpa syarat. Memberikan teman bermain disaat hatinya sedang gundah. Melatih anak untuk selalu mengasihi dan menyayangi sesama …..dll.
Melihat manfaatnya yang sangat positif bagi perkembangan emosional anak….dengan semangat, kami akhirnya memilihkan hewan peliharaan pertama kepada Denia yaitu ikan mas cupang !! Ikan yang kami anggap paling gampang pemeliharaan.Alias gak gampang mati. Ketika pertama kali melihat wuahhhh….Denia seneng banget sekaligus terheran-heran, pengen ngobok-ngobok air dan takut…
Denia kemudian kami bimbing: berapa kali dan seberapa banyak untuk memberikan makan, kemudian ikannya tidak boleh diganggu, melihat perkembangannya, melihat bagian-bagian tubuh ikan. Tugas Denia cukup hanya itu saja (disesuaikan dengan usianya yang 2,5 tahun). Jadi tugas perawatan lain-lain masih saya yang mengerjakan. 
Melihat perkembangannya yang bagus, kami kemudian memutuskan untuk menambah jenis hewan peliharaan untuk Denia.  Untuk hewan peliharaan selanjutnya adalah kura-kura. Pertimbangannya, ya balik lagi karena paling mudah dipelihara.
Ternyata baru pada hewan peliharaan kura-kura dan selanjutnya berbagai kisah tragis mengiringi cerita kami untuk mengajarkan hewan peliharaan. Sebagian besar ternyata bukan karena kecerobohan Denia namun justru kami. Kecerobohan pertama adalah salah mengenali. Kok bisa !! Ceritanya, mata saya yang berminus empat ternyata salah mengenali antara batu dan kura-kura. Jadi kura-kura-nya saya buang dan batunya saya sikat. Setelah akuarium diletakkan kembali, baru saya sadar…he..he. Konyol banget khan. 
Denia-nya jadi sedih banget. Kehilangan kura-kura kesayangannya. Maaf ya mbak Denia.…
Kecerobohan kedua giliran si bapaknya anak-anak. Waktu itu giliran dia untuk menjemur kura-kura namun karena kelupaan, hasilnya adalah kura-kura yang kering dikerubungi semut..Setelah itu bergantian, hewan peliharaan kami bertumbangan. Dari ikan mas koki yang tiba-tiba perutnya kembung dan hamster yang terjepit besi pintu kandangnya.
Khusus hamster, kami bahkan sempat “kursus singkat” sama teman yang pernah punya, kandang pun sempat di perbesar + mainannya ditambah. Namun hasilnya sama saja, si hamster mati juga setelah dua kali sempat meloloskan diri dari kandang……
Duh..ternyata merawat hewan peliharaan untuk saat ini bukan bakat kami. Akhirnya aku dan suami memutuskan untuk sementara ini tidak lagi memelihara hewan peliharaan. Kami memutuskan untuk mengganti dengan tumbuhan saja.…Kalau bertanam memang hobi saya dulu. Nanti suatu saat kami akan mencoba kembali.
Nah dari pengalaman kami mengajarkan hewan peliharaan pada Denia ini, ada beberapa pelajaran yang dapat dipetik, yaitu:
Pertama, pilihkan hewan peliharaan yang sesuai dengan umur dan karakteristik anak. Biasanya orang tua memilihkan hewan peliharaan karena penampilannya si hewan saja sedangkan pertimbangan kemampuan perawatan dikesampingkan. Hasilnya si anak dan orang tua sebagai pembimbing jadi kerepotan.
Kedua, sesuaikan tugas yang dilimpahkan ke anak dengan kemampuan si anak sendiri
Ke tiga, orang tua yang membimbing anak harus lebih dahulu dibekali dengan pengetahuan yang cukup mengenai hewan peliharaan.
Kondisi ini berbeda apabila ternyata si orang tua sudah lebih dahulu memelihara hewan peliharaan tertentu maka orangtua tinggal melanjutkan dan mengenalkan saja.

Denia dan Qila, nanti kita pelihara hewan lagi ya…dan semoga kisah tragisnya tidak terulang lagi. Amin….

Senin, 02 Mei 2011

SHODAQOH SENYUM (BERBAGI SENYUM)

Di sekolah Denia dan Qila, setiap hari selalu ada guru yang mengingatkan anak-anakku untuk tersenyum..shodaqoh senyum. Bertegur sapa dengan senyuman ketika bertemu guru, teman-teman dan orangtua murid. Efeknya, siapapun dalam lingkungan sekolah akan saling mengenal. Kami jadi saling dekat satu sama lain. Jika ada permasalahan mengenai proses belajar mengajar dan tumbuh kembang anak maka kami lebih mudah untuk berbicara dan kemudian mengambil solusi terbaik.
Seeandainya anak-anak kami di sekolah bertengkar maka selalu bisa diselesaikan dengan baik. Boleh berantem (maklum anak-anak pasti suka berebut mainan dll)..tapi harus selalu diakhiri dengan kata maaf dan kemudian kembali tersenyum. Lucunya liat anak yang tadinya brantem sampe nangis dlewer-ndlewer, kembali saling berjabat tangan dan berbagai senyum. Gak lama lagi kemudian tiba-tiba mereka sudah tertawa keras bersama-sama
Kebiasaan itu juga membuat anak-anakku lebih ramah terhadap siapapun di lingkungan. Di rumah, di sekolah ataupun ketika ikut ayah dan ibu berkunjung ke rumah orang. Kalau dalam lingkungan rumah, ketika kami sebagai orang tua sekiranya tidak menepati janji atau memang berbuat kesalahan, kami juga akan meminta maaf dan diakhiri dengan senyuman.
Sepertinya kalau dalam interaksi antara orang dewasauntuk bersedekah senyum lebih sulit ya. Jadi inget status temen yang bercerita bagaimana seorang ibu Ayang baru saja bertemu dan bertukar senyum di depan ibu B. Ketika ibu B tadi baru saja beranjak pergi kemudian tiba-tiba si ibu A di depan orang yang lain lagi mengucapkan kata-kata“opo’o. nek ketemu ngguya ngguyu. kondhone wis njaluk sepuro ngono maneh…ngono maneh . wis tak sabar-sabarno kok pancet ae..” .  (Dalam bahasa Indonesia itu artinya: apaan. Setiap kali ketemu senyam-senyum. Katanya dah mintaa maaf tapi gitu lagi. Gitu lagi. Padahal aku sudah berusaha sabar banget…). La itu tadi senyum buat apa  ya….@_@. Dan sepertinya adegan itu mudah kita kenali ya dalam lingkungan kita….he…he
Malu juga apabila melihat anak-anak kecil yang terkadang lebih bijaksana dalam menselesaikan konflik.
Sebenarnya senyum yang kita berikan merefleksikan banyak hal lo..tidak hanya ekspresi wajah saja. Senyum  juga merupakan releksi keinginan kita untuk memulai memperlakukan orang sebagaimana kita ingin diperlakukan oleh orang. Ketika menunjukkan senyum maka kita membuka diri terhadap orang lain.  Dengan kata lain senyuman juga menunjukkan kepedulian yang kemudian membangkitkan dan memunculkan kembali nilai-nilai positif.
Wuihhh…….membayangkan seandainya kita hidup dalam lingkungan yang dipenuhi nilai-nilai positif. Senengnya kalau setiap kali kita hidup dalam lingkungan dipenuhi nilai-nilai positif. Saling bertegur sapa..saling perduli..saling menjaga.
Berapa kali kita sudah bersedekah (berbagi) senyum hari ini ??