Saya ini mengaku..bener-bener mengaku orang yang biasa aja
kemampuannya. Lulus sekolah dari sekolah yang biasa. Gak pernah jadi juara kelas. Paling masuk rangking 10 besar. Ketika saya berhasil tembus saringan universitas negeri, guru SMA bahkan berkata “kamu itu keajaiban”. Duh segitunya. Lulus kuliah sekarang ya dengan
nilai yang biasa saja. Bahkan tugas akhir diselesaikan dengan judul yang biasa saja.
Apalagi dalam kemampuan berhitung. Liat simbol itu
seolah-olah sama aja. Apalagi kalau liat angka sama berjejer, selah-olah
menghilang satu. Apalagi diminta
berlogika dalam bermatematika...ah sudahlah. Bawaan dari sono emang gak
berbakat dalam numeris. Ini namanya sudah bukan lagi biasa ya tapi kurang.....hahahaa
Jadi saya sangat heran melihat temen yang bisa menyelesaikan
ujian dengan soal “hitunglah berapa lama kamper berukuran sekian yang
ditempatkan di ruangan dengan volume sekian dan kelembapan sekian.” Liat soal semacam ini, pengen nangis. Ya ampun
ini soal niat mau dikerjakan mahasiswa gak sih. Maksud hati masuk jurusan
menghindari matematika tetap saja berhadapan dengan matematika. ...akhirnya
dengan kekuatan tersisa mengerjakan. Akhirnya dengan segenap kekuatan yang ada pelan-pelan menulis. Diketahui kelembapan
sekian, volume ruangan. Sampai pada saat
menghitung ya kosong aja...dah gitu aja. Pokoknya ada menghitung (kalau itu
namanya menyalin soal bukan menjawab)
Itulah saya. Orang dengan
kemampuan biasa aja. Justru dengan begitu saya lebih mudah
kagum melihat orang dengan kemampuan lebih.
Baru-baru ini saya membaca karangan tulisan anak muda. Jauh-jauh
di bawah usia saya. Dibandingkan dengan saya, jelas kemampuan menulis sangat
berkembang di usia masih sangat muda. Membahas dengan tema yang cukup berat pula di
usianya. Meragukan memang. Bagi orang lain mungkin dengan mudah menuduh kopi
paste.
Tapi ini menurut saya, tidak mudah untuk mensintesis sebuah ide dan
kemudian merangkai kembali dalam tulisan yang sama sekali berbeda. Tidak semua
orang mampu memiliki kemampuan tersebut. Tidak semua. Apalagi mensistesis ide
tersebut dan kemudian merangkai kembali dalam cerita yang berbeda. Bener-bener kemampuan yang terkadang tidak
semua orang memiliki.
Jangan salah. Bapak dosen pernah mengutarakan bahwa dalam perkuliahan
dengan tugas membuat paper berubah menjadi tugas menyalin. Ini dilakukan lebih
dari separuh tugas mahasiswa yang dikumpulkan. La wong, kadang tinggal menyalin
saja masih salah. Masih gak bisa
memahami bagian mana yang sesuai untuk disalin. Boro-boro mensistesis
ide...boro-boro.
Inilah yang saya akui, bahwa setiap orang pasti memiliki
kemampuan berbeda. Entah memang bakat dari
lahir, atau mengembangkannya seiring perjalanan waktu. Saya lebih
memilih mengakui kelebihan dibandingkan mengorek-ngorek atau merendahkan
kemampuan seseorang. Justru dengan mengakui kemampuan seseorang, saya lebih
mudah menyerap pelajaran yang bisa di ambil. Akan sulit nunut ngilmu kalau saya
tidak memulai dengan pandangan positif.
Jadi bisa dibayangkan khan betapa sangat merugi kita. Melewatkan
ilmu. Hanya karena kita lebih dulu merendahkan kemampuan seseorang daripada mengakuinya dan belajar dari situ. Hanya
karena ego, tidak mau kalah. Akhirnya, melewatkan kemampuan seseorang yang bisa berubah menjadi ilmu yang bisa
ditularkan bagi kita. Sementara di jalur pendidikan formal, ilmu dihargai dengan biaya fantatis. Di luar, kita justru bisa lebih banyak menyerap ilmu yang dibagikan dengan gratis hanya dengan nunut ngilmu. Hindarkan kerugian itu dengan berpikiran positif, setelahnya mari kita menimba keuntungan dengan mendapatkan ilmu.
Nah inilah mungkin kelebihan saya, bersedia menyerap ilmu dari orang
lain. Bersedia nunut ngilmu ke siapapun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar