Senin, 05 Juni 2017

NUNUT NGILMU


Saya ini mengaku..bener-bener mengaku orang yang biasa aja kemampuannya. Lulus sekolah dari sekolah yang biasa. Gak pernah jadi juara kelas. Paling masuk rangking 10 besar. Ketika saya berhasil tembus saringan universitas negeri, guru SMA bahkan berkata “kamu itu keajaiban”. Duh segitunya. Lulus kuliah sekarang ya dengan nilai yang biasa saja. Bahkan tugas akhir diselesaikan dengan judul yang biasa saja. 

Apalagi dalam kemampuan berhitung. Liat simbol itu seolah-olah sama aja. Apalagi kalau liat angka sama berjejer, selah-olah menghilang satu. Apalagi  diminta berlogika dalam bermatematika...ah sudahlah. Bawaan dari sono emang gak berbakat dalam numeris. Ini namanya sudah bukan lagi biasa ya tapi kurang.....hahahaa
Jadi saya sangat heran melihat temen yang bisa menyelesaikan ujian dengan soal “hitunglah berapa lama kamper berukuran sekian yang ditempatkan di ruangan dengan volume sekian dan kelembapan sekian.”  Liat soal semacam ini, pengen nangis. Ya ampun ini soal niat mau dikerjakan mahasiswa gak sih. Maksud hati masuk jurusan menghindari matematika tetap saja berhadapan dengan matematika. ...akhirnya dengan kekuatan tersisa mengerjakan. Akhirnya dengan segenap kekuatan yang ada pelan-pelan menulis. Diketahui kelembapan sekian, volume ruangan.  Sampai pada saat menghitung ya kosong aja...dah gitu aja. Pokoknya ada menghitung (kalau itu namanya menyalin soal bukan menjawab)

Itulah saya.  Orang dengan kemampuan biasa aja. Justru dengan begitu saya lebih mudah kagum melihat orang dengan kemampuan lebih.

Baru-baru ini saya membaca karangan tulisan anak muda. Jauh-jauh di bawah usia saya. Dibandingkan dengan saya, jelas kemampuan menulis  sangat berkembang di usia masih sangat muda. Membahas dengan tema yang cukup berat pula di usianya. Meragukan memang. Bagi orang lain mungkin dengan mudah menuduh kopi paste. 
Tapi ini menurut saya, tidak mudah untuk mensintesis sebuah ide dan kemudian merangkai kembali dalam tulisan yang sama sekali berbeda. Tidak semua orang mampu memiliki kemampuan tersebut. Tidak semua. Apalagi mensistesis ide tersebut dan kemudian merangkai kembali dalam cerita yang berbeda.  Bener-bener kemampuan yang terkadang tidak semua orang memiliki.

Jangan salah. Bapak dosen pernah mengutarakan bahwa dalam perkuliahan dengan tugas membuat paper berubah menjadi tugas menyalin. Ini dilakukan lebih dari separuh tugas mahasiswa yang dikumpulkan. La wong, kadang tinggal menyalin  saja masih salah. Masih gak bisa memahami bagian mana yang sesuai untuk disalin. Boro-boro mensistesis ide...boro-boro.

Inilah yang saya akui, bahwa setiap orang pasti memiliki kemampuan berbeda. Entah memang bakat dari  lahir, atau mengembangkannya seiring perjalanan waktu. Saya lebih memilih mengakui kelebihan dibandingkan mengorek-ngorek atau merendahkan kemampuan seseorang. Justru dengan mengakui kemampuan seseorang, saya lebih mudah menyerap pelajaran yang bisa di ambil. Akan sulit nunut ngilmu kalau saya tidak memulai dengan pandangan positif.

Jadi bisa dibayangkan khan betapa sangat merugi kita. Melewatkan ilmu.  Hanya karena kita lebih dulu  merendahkan kemampuan seseorang daripada mengakuinya dan belajar dari situ. Hanya karena ego, tidak mau kalah. Akhirnya, melewatkan kemampuan seseorang yang bisa berubah menjadi ilmu yang bisa ditularkan bagi kita. Sementara di jalur pendidikan formal, ilmu dihargai dengan biaya fantatis. Di luar, kita justru bisa lebih banyak menyerap ilmu yang dibagikan dengan gratis hanya dengan nunut ngilmu. Hindarkan kerugian itu dengan berpikiran positif, setelahnya mari kita menimba keuntungan dengan mendapatkan ilmu.

Nah inilah mungkin kelebihan saya, bersedia menyerap ilmu dari orang lain. Bersedia nunut ngilmu ke siapapun. 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar