Selasa, 29 November 2011

Saat Galau-nya Orang Tua Memilih Pola Asuh


Ayah dan bunda, merasa gak sih kebingungan dalam mentukan pola asuh yang sesuai dengan anak. Kondisi parenting masa kini yang sangat berkembang ternyata juga memberikan banyak pilihan dari menawarkan versi barat dan bintang, versi timur atau versi berbasis agama…semuanya telah terbukti dengan model-model kesuksesan ketika pola asuh tersebut sudah dijalankan terdahulu. Kalau saya sih merasanya jadi bingung…bikin galau (hadeh si ibu kok ya masih aja ketularan bahasa gaul). Kalau semuanya baik..terus bagaimana yang harusnya diterapkan untuk anak saya…mana yang paling baik.

Ketika di masa kegalauan inilah kemudian saya menemukan jawabannya dengan tidak sengaja yaitu ketika membaca buku teori manajemen SDM…jadi buku yang sebenanrnya gak nyambung dengan parenting. Bukunya lumayan agak tebal dan benar-benar buku teori (buku yang bisa dijadikan acuan dalam penyusunan karya ilmiah). Jenis buku yang bisa digunakan untuk menemani tidur (karena saking tebelnya membuat si pembaca membaca sambil tertidur). Isinya sebagian besar (392 halaman) membahas mengenai majamen SDM (sumber daya manusia) termasuk diantaranya adalah penerapan gaya kepemimpinan situasional. Jadi wajar saja kalau tidak benar-benar membaca dan memperhatikan isi bukunya tidak akan menemukan bahwa buku tersebut memberikan satu petunjuk bagaimana penerapan pola asuh yang sebaiknya pada anak. (bingung ya kok sepertinya isi buku dari pengelolaan SDM perusahaan menjadi petunjuk penerapan pol asuh yang efektif. Setelah saya membaca (alias memperhatikan dengan lebih seksama dan menahan rasa kantuk) terseliplah 4 halaman membahas mengenai penerapan pola asuh yang efektif.
Dalam buku tersebut mengulas bahwa gaya kepemimpinan situasional merupakan gaya kepemimpinan yang disesuaiakn antara tugas dan hubungan, serta gaya yang dikaitkan dengan tingkat kematangan para bawahannya. Apabila pemimpin menentukan secara tepat kondisi pegawai serta menyesuaikan kebutuhannya dengan gaya yang tepat, maka pegawai akan merasa senang dan dihargai dalam melakukan setiap tugas yang telah diberikan pimpinan kepadanya (Bass, 1980). Hal sama juga berlaku pada cara bagaimana seorang orang tua membimbing, serta mendidik anak bahwa kita sebagai orangtua (layaknya seorang pemimpin perusahaa) harus memahami bagaimana karakter si anak (termasuk diantaranya perkembangan dan kemampuan anak), bagaimana situasi yang dihadapi, bobot input serta bagaimana karakter orang tua itu sendiri (4 dimensi gaya kepemimpunan yang disesuaikan dengan pola asuh orang tua)

Isi buku tersebut sangat sesuai dengan kondisi ketika suatu saat saya sedang kebingungan mencoba mencari tahu pola asuh yang seharusnya diterapkan ke anak…ternyata jawabannya bukan pada jenis pola asuh tapi bagaimana saya harus memperhatikan 4 dimensi tersebut. Entah pola asuh barat dan pola asuh timur maupun berbasis keagamaan yang memberikan rumusan dan masing-masing sudah dibuktikan dengan keberhasilan masing-masing membuat saya sebagai orang tua teriming-imingi (masih mencoba mencari padanan kata dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar) dengan keberhasilan si model. Istilahnya..”kalau pola asuh seperti ini maka kelak anda akan mendapatkan model kesuksesan seperti ini”. Kenyataannya, karakter anak belum tentu sesuai dengan model pola asuh tersebut. Demikian pula ketika kondisi, input yang dimasukkan ke anak dan karakter orangtua sendiri.

Mungkin kalau bisa dijadikan suatu masukan bagi diri sendiri untuk saat sekarang… hanya-lah mampu dilakukan sebagai orangtua adalah menginput diri sendiri, sembari mengenali anak, dan mengamati lingkungan. Tidak lupa banyak berdoa…(sambil menghirup napas dalam-dalam supaya lebih meresap dalam hati). Amien…

Jumat, 19 Agustus 2011

ANAKKU ADALAH GURUKU

Bagi setiap orang tua tentu memiliki cara pandang yang berbeda atas kehadiran anak-anak mereka. Demikian saya…melewati berbagai peristiwa mendampingi anak-anak membuat saya selalu belajar sesuatu yang baru.  Percaya atau tidak, anak-anak saya (Mbak Denia dan Dik Qila) adalah guru yang terbaik untuk saya.
Mendampingi tumbuh kembang mereka membuat saya belajar ikhlas. Seperti yang di nasehatkan seorang guru kepada saya, mendidik anak seperti menanam pohon. Kita tidak akan bisa mengharapkan kapan mereka akan berbuah. Apakah manis, ataukah justru tidak seperti harapan. Semuanya hanya bisa mengikuti waktu. Orangtua ternyata hanya bisa memberikan apa yang terbaik. Bahkan ketika pohon itu telah berbuah, tak ada hak apapun bagi kita untuk memetiknya karena buah tersebut adalah milik si pohon. Pohon itu yang telah bersusah payah untuk menghasilkan buah tersebut. Dari sinilah saya kemudian memahami istilah “melepas anak panah dari busur”.
Tekad untuk menjadi contoh baik untuk Mbak Denia dan Dik Qila membuat saya juga terus belajar. Termotivasi untuk menyerap ilmu….karena keyakinan saya bahwa tidak ada anak yang cerdas dan memiliki kemampuan hidup cukup apabila tidak didampingi oleh orangtua yang memiliki pemahaman yang baik pula. Saya harus mampu mengesampingkan berbagai latar belakang dari orang-orang yang saya anggap dapat memberikan ilmu baru jika mampu. Ujiannya pun bahkan lebih sulit karena hasilnya tidak hanya sekedar nilai atau singkatan yang berderet di belakang maupun depan. Kenyataannya, ilmu mendampingi anak tidak hanya berhubungan dengan kemampuan akademis namun lebih pada motivasi kita untuk memberikan pengasuhan yang terbaik.  
Melalui Mbak Denia dan Dik Qila pulalah saya menjadi lebih "terkendali". Mencoba untuk selalu dapat berpikir ulang bila menemui masalah. Tidak lagi meledak-ledak seperti dulu. Bagian dalam hidup saya mulai tertata dengan baik. Saya mulai mampu merencanakan hidup, menjalani dengan sebaiknya-baiknya dan kemudian melakukan evaluasi. Menjaga perbuatan dengan harapan "semoga anak saya juga akan mengalami hal yang sama.". Lebih banyak berdiam bila memang menemui sesuatu yang berpotensi menimbulkan konflik. 
Mendampingi anak-anak juga membuat belajar untuk berserah diri pada Allah. Saya yakin tidak ada yang mampu menjaga anak-anak sebaik Allah. Ini juga mengingat nasihat budhe Nur yang terakhir, “kalau punya anak harus banyak doa..kita khan gak pernah tahu sampai kapan bisa mendampingi. Kita juga gak bisa mendampingi anak-anak terutama kalau mereka sudah mulai remaja dan dewasa. Kalau kita banyak berdoa..maka Allah yang akan menjaga mereka.” Itu nasehat beliau yang terakhir. Sekarang setelah beliau meninggal, itulah yang saya coba terus lakukan. Membuat saya harus selalu “menjaga hubungan” dengan Allah. Bukankah Allah-lah yang Maha Kuasa atas Segalanya. 
Saya juga belajar dalam mendampingi tumbuh kembang mereka untuk mengkuatkan hati. Terkadang ketika menghadapi lingkungan tidak sesuai memunculkan pendapat  yang tidak sama membuat saya merasa sangat kecil dan tidak berarti. Namun ketika berkonsultasi dengan orang yang tepat, mendapatkan dukungan (terutama dari ayahnya anak-anak) dan melihat senyum mereka membuat saya kembali tenang. Kemudian merefleksikan diri dan mengukuhkan diri…semoga apa yang saya lakukan masih bisa menjadi contoh baik untuk anak-anak. Amien. 


Dedicated untuk Mbak Denia dan Dik Qila, serta Budhe Nur...selamat jalan budhe..semoga nasehat itu tetap selalu bisa saya jalankan...

DENIA BELAJAR MENGGUNAKAN KAMERA

Ceritanya….kali ini mbak Denia sedang mencoba ketrampilan baru yaitu menggunakan kamera. Sudah lama sih mbak Denianya tertarik menggunakan kamera.  Pertamanya, sih mbak denia heran kok wajahnya  ada dalam sebuah kamera….atau wajah adiknya yang barusan dilihatnya tiba-tiba sudah ada menjadi foto. Ibu dan ayah khan memang suka mengabadikan berbagai moment terutama moment perkembangan mbak Denia dan dik Qila. Jadinya setiap kali ibu atau ayah sehabis menggunakan kamera, Mbak Denia dan Dik Qila maunya langsung melihat hasilnya bagaimana.
Lama-lama mungkin karena melihat ayah dan ibu kok kayanya asyik menggunakan kamera….Mbak Denia mulai minta diajarin untuk menggunakan kamera. Pertamanya sih saya deg-degan, takut kameranya rusak. Maklum…bayangan saya khan klo anak kecil sukanya otak atik dan belum punya rasa hati-hati. Dengan deg-degan, saya mulai mengenalkan prinsip-prinsip “cara mudah” menggunakan kamera. Akhirnya, Mbak Denia belajar mengenal prinsip kamera adalah menangkap cahaya…saya ibaratkan seperti kalau mata melihat khan membutuhkan cahaya…jadi kalau terang akan lebih mudah melihat benda. Nah kamera juga begitu..harus memiliki cahaya yang cukup supaya kameranya dapet mengenali ini gambar apa (eh, bener gak sih prinsip kamera kaya gitu ?? Mohon masukannya ya. Terimakasih…..). Mbak Denia juga belajar mengkoordinasikan ke dua tangan bahkan sampai sampai ke tingkatan jari-jarinya karena  ketika memegang kamera tidak hanya sekedar memegang namun juga harus menstabilkan kamera sekaligus harus mampu memencet kameranya. Saat-saat pertama sih banyak hasil foto yang kabur gara-gara kameranya getar. He…he…Mbak Denianya jadi suka kesel “kok gak kaya ibu dan ayah sih”. …
Ternyata setelah beberapa saat, Mbak Denia sudah bisa menggunakan kamera dengan baik. Maksud saya dengan baik adalah mulai bisa mengarahkan kamera pada objek sehingga gak ada lagi foto objek yang kepotong atau malah meleset lagi….dab sudah mulai bisa mengenali cahaya terang dan gelap.  Sampai tahapan sekarang, menurut saya ketrampilan mbak Denia sudah cukup. Apalagi mengingat kemampuan saya sendiri mengenai penggunaan kamera sangat terbatas. 
And the end ….ketika Mbak Denia belajar mengggunakan kamera ternyata memunculkan beberapa pelajaran yang dapat dipetik. Ada keuntungan lain dari belajar menggunakan kamera yaitu Mbak Denia jadi  lebih memperhatikan kejadian-kejadian alam. Misalkan Mbak Denia kemaren memperhatikan kok ada awan di atas air (maksudnya bayangan awan yang jatuh di atas permukaan air). Suatu saat mbak Denia juga jadi lebih memperhatikan bagaimana gerakan sayap kupu-kupu yang sedang terbang.

masih moment belajar untuk mengarahkan kamera..kali ini objeknya bunga di taman...setelah menerangkan (kembali) prinsip kamera adlh menangkap cahaya dr objek,dan bagaimana caranya megang kamera biar gak bergoyang..hasilnya adlh *foto bunga teratai*
kali ini denia belajar mengenai bayangan...kata denia "kok ada awan bu di air"..he...he denianya bingung, krn awan khan hrsnya di langit..setelah diterangkan (mbuh mudeng opo ora sih)..denia akhirnya kembali beraksi. *FOTO AWAN
Dengan belajar menggunakan kamera muncul moment keingintahuan dengan mengamati kejadian-kejadian alam. Mbak Denia kemudian mulai bertanya dan mencari jawaban..entah penjelasan dari saya atau melalui buku yang (dibantu) dibaca Jadi ketika menggunakan kamera ternyata tidak hanya sekedar berjalan-jalan dan mengabadikan moment tapi mbak Denia juga belajar untuk mengamati alam lebih mendetail. 
Saya sendiri juga belajar untuk tidak begitu saja memberikan judgment negative atas kemampuan anak. Kekhawatiran saya bahwa mbak Denia akan merusak kamera ternyata tidak terbukti. Asalkan diberikan instruksi-intruksi yang mudah dipahami oleh anak…..mereka bisa kok. Misalkan bahasakan saja dengan mudah intruksi untuk jangan dibanting, mana yang boleh dipencet. Setelah itu berikan contoh yang sejelas-jelasnya.
Setelah moment mbak denia belajar menggunakan kamera…jadi tidak sabar moment apalagi ya yang dilakukan oleh Mbak Denia

Jumat, 17 Juni 2011

NYAMAN MENJADI DIRI SENDIRI (1)

Hmmm….muncul satu lagi status hari ini yang isinya “Be Your Self”. Kemaren ada juga status yang “Aku menjadi diriku.” Di saat lain muncul kata-kata hidup kok nurutin orang lain. Tanpa bermaksud menghakimi, pada suatu waktu, kata-kata seperti ini ternyata seringkali menjadi apologi yang baik bagi individu untuk mencuekkan diri terhadap ketidakmampuan mereka dalam mengenali diri sendiri. Jadi saya bingung, mereka itu menjadi diri sendiri atau mencoba mengisolasi diri sendiri ???? Sekedar mengukuhkan bahwa mereka sebenarnya tidak mau taat peraturan (bahasa pedes dan nyelekit adalah apologi bagi keadaan atas ketidakmauan mereka untuk berjuang lebih baik padahal mampu dan mendengarkan masukan yang sebenarnya membangun pribadi lebih baik).
Suatu waktu, kita juga pernah menemui seseorang yang seolah-olah memiliki kepribadian sangat berbeda jika berada di depan masyarakat dan di depan keluarga. Seolah-olah mereka membuat kepompong untuk membungkus kepribadian sesungguhnya. Mencoba menyukai sesuatu yang sebenarnya bukan menjadi ketertarikan diri sendiri hanya untuk menjadi syarat supaya diterima dalam komunitas tertentu. Anda sebutkan saja...pasti banyak sekali contoh-contoh dalam kehidupan masyarakat yang senada dengan contoh-contoh di atas. Senada dengan peristiwa yang menunjukkan bahwa menjadi diri sendiri justru tidak mendatangkan ketidaknyamanan.
Sebenarnya kalau kita benar-benar mau melihat peristiwa di atas, bukan disebabkan oleh  individu-individu yang tidak mengenal kepribadiannya. Permasalahannya adalah mereka tidak mau mengakui apa adanya karakter diri sendiri. Karakter merupakan sifat yang melekat pada diri sendiri. Selama pengalaman hidup kita, karakter tersebut akan terbentuk. Karakter juga sering diartikan atau dihubungkan dengan ciri tertentu yang menonjol pada diri. Jadi dapat dikatakan apa yang menjadi diri sendiri adalah gabungan beberapa sifat yang melekat dan identik.
 Dalam perjalanan hidup seseorang, karakter sebenarnya merupakan interaksi id, ego, dan super ego. Dalam hal ini, Id (das-es) merupakan sistem Karakter yang paling dasar, sistem yang di dalamnya terdapat naluri-naluni bawaan. Id adalah sistem yang bertindak sebagai penyedia atau penyalur energi yang dibutuhkan sistem-sistem tersebut untuk operasi atau kegiatan yang dilakukannya. Ego adalah sistem yang bertindak sebagai pengarah individu pada dunia objek dan kenyataan dan menjalankan fungsinya berdasarkan isi kenyataan. Super-ego adalah sistem karakter yang berisi penilaian secara universal dan aturan yang sifatnya evaluatif (menyangkut baik dan buruk). Dalam bahasa sehari-hari konsep tersebut menunjukkan bahwa dalam perkembangan, manusia akan memiliki sifat-sifat bawaan yang kemudian di pilih dan dikembangkan sesuai denga cara pandang (persepsi) mereka ketika menjalankan kehidupan.
Selanjutnya karakter tersebut dalam kehidupan sehari-hari akan mempengaruhi tingkah laku. Tingkah laku merupakan implementasi yang dilakukan seseorang dalam kehidupannya. Tindakan yang dilakukan seorang individu tidak lain merupakan hasil dan konflik dan rekonsiliasi ketiga unsur dalam sistem karakter tersebut. Tingkah itu kadang-kadang kelihatan (overt) dan kadang-kadang tidak kelihatan (covert). Nah dari sinilah muncul kata-kata jaim alias jaga image. Di depan orang melakukan apa…nanti kalau di belakangnya kemudian melakukan sesuatu yang sangat berbeda.
Umumnya pada masa kanak-kanak dan masa remaja merupakan masa pembentukan karakter karena pada masa inilah individu belajar dari lingkungan dan kemudian memilih mana yang paling sesuai dengan dirinya melalui pandangan hidup (persepsi). Untuk selanjutnya ketika masa dewasa, sifat-sifat tersebut akan menetap dan kemudian menjadi yang disebut sebagai karakter. Jadi sebenarnya wajar juga kalau melihat anak remaja atau anak-anak yang masih labil sehingga dengan mudahnya mereka meniru sosok yang diidolakan (kata mas Sasongko masa perkembangan gundah dan galau). Kalau jaman kanak-kanak mungkin mereka hanya meniru orang-orang terdekat (ayah atau ibu), nah kalau sudah remaja maka mereka akan mulai menirukan sosok-sosok dari lingkungan yang lebih luas. Jadi jangan heran kalau melihat anak remaja yang menangis di depan sosok idola atau bahkan dulu saat kita masih remaja juga berbuat sama. Masa tersebut merupakan masa pencarian.
 Di sisi lain sebenarnya dalam masa seperti remaja dan kanak-kanak juga penting diperhatikan, sosok siapa yang akan mereka idolakan. Dengan demikian dapat membantu mereka dalam memahami nilai-nilai baik. Oleh karenanya, contoh yang baik merupakan pembelajaran terbaik dan termudah yang dapat segera masuk dalam input perkembangan mereka. he..he padahal untuk menjadi contoh yang baik justru hal paling sulit yang dilakukan oleh orang tua atau sosok pembelajar lain.
Bagaimana seandainya kalau perkembangan di masa kanak-kanak dan remaja tersebut mengalami hambatan. Individu yang mengalami hambatan dalam pencarian ketika masa remaja dan kanak-kanak maka memunculkan sosok dewasa tanpa nilai-nilai yang dianggap sebagai benar menurutnya. Masa dewasa yang seharusnya memiliki karakter mantap sebagai pengakuan serta pandangan atas dirinya masih saja dilanjutkan menjadi masa pencarian. Selanjutnya individu tersebut tidak dapat mengaktualisasikan diri karena tidak mampu memberikan kebermanfaatan terhadap diri sendiri dan orang lain. Konsep karakter dengan memasukkan kebermanfaatan seperti ini penting dikarenakan masa dewasa merupakan masa penilaian atas sumbangan yang dapat diberikan individu terhadap dirinya dan lingkungan. Orang dewasa sesungguhnya harus memiliki posisi di kehidupan social berdasarkan peran yang mereka dapat lakukan. Kalau bahasa anak sekarang adalah orang ngeksis…jadi punya tempat dalam lingkungan mereka.
Dengan demikian orang yang mampu menjadi dirinya sendiri secara adaptif mampu menyelesaikan berbagai konflik dalam kehidupan.  Kalau menggunakan istilahnya Pak Mario Teguh, orang dengan karakter diri sendiri memiliki bawaan lebih sedikit. Jadi lebih ringan dalam menempuh perjalanan. Tidak terbebani untuk menunjukkan eksistensi diri dengan status yang tidak penting dan pikiran yang tidak perlu. Mereka akan selalu merasa yakin untuk menyelesaikan dengan apa yang telah dimiliki. Mandiri dalam memperhitungkan pilihan dengan menimbang resiko sekaligus konsekuen dengan apa yang mereka telah pilih. Pada akhirnya dapat mengambil peran dengan tepat di kehidupan masyarakat. Hal inilah yang saya sebut dengan nyaman menjadi diri sendiri karena merasa bahwa apa yang telah dimiliki (karakter) akan selalu mampu menghadapi berbagai persoalan. Mengambil hikmah dari suatu peristiwa yang telah berlalu. Tanpa harus berpura-pura menjadi orang lain (karakter lain). Mereka yang nyaman dengan diri sendiri selalu pribadi berkembang karena mampu adaptif dalam segala situasi.
Jadi sebenarnya menjadi diri sendiri bukan menjadi alasan yang membuat seseorang tidak memperhatikan sekelilingnya. Tidak memperhatikan pendapat orang lain. Tidak memperhatikan apakah dirinya mengganggu orang lain. Bukan juga menjadi alasan apabila seseorang kemudian melakukan pemberontakan terhadap suatu nilai-nilai tanpa mendasarkan pada usaha menciptakan kebermanfaatan yang lebih bak. Kejadian sepert ini juga membuat saya bingung. Di saat dirinya belum memantapkan diri tapi sudah mencoba membuat rebellion. Bukankah, kita dapat mengatakan nilai itu buruk kalau sudah memiliki nilai-nilai yang lebih baik. Kemudian nilai-nilai baik ini dapat dijadikan suatu dasar pertimbangan dalam mengambil solusi terbaik. So, rebels to what ?? Ya….kalau pemberontakan semacam itu datang orang yang justru tidak memiliki karakter maka pada akhirnya membuat kondisi makin buruk karena tidak mendatangkan solusi lebih baik.
Semoga, kita menjadi pribadi yang menyenangkan untuk diri sendiri dan orang lain. 

Minggu, 05 Juni 2011

GAK MAU JADI KATAK DALAM TEMPURUNG

Dulu..dulu sekali waktu saya kecil, sering bermimpi saya nantinya jadi apa ya, gimana dengan perjalanan hidup yang dilewati. Selalu saja bertanya ke diri sendiri, mampukah melewati itu semua. Bahkan ketika melewati moment pernikahan pun, saya pernah merasa ketakutan. Di saat orang lain mungkin merasakan kebahagiaan luar biasa. Melewati ceremony yang dirayakan luar biasa. Bertemu dengan orang yang nantinya (insyaallah) akan berbagi dalam separuh lebih waktu kehidupan. Berbeda dengan yang dirasakan oleh orang lain, saya justru mengalami berbagai ketakutan. Maklum...saya melewati hal yang membuat diri menginterprestasikan perkawinan merupakan sesuatu yang sangat berat. Dalam perjalanan hidup, saya belum pernah melihat contoh baik sebuah perkawinan. Akhirnya saya menjadi ketakutan apakah mampu menjadi orangtua yang baik untuk anak-anak. Apakah saya akan menjadi orangtua yang menjadi contoh baik bagi anak-anak. Menghidupi mereka dengan baik. Ketakutan tersebut semakin memuncak saat kehamilan pertama. Saya sangat bersyukur cuma tetap saja rasa takut tersebut makin menguat.

Kenyataannya, dalam perjalanan hidup, saya justru belajar bahwa ketakutan adalah pembatas paling besar dalam hidup. Iya, itu namanya ketakutan apabila kita mengkhawatirkan segala sesuatu tapi tidak membuat kita berusaha untuk berbuat sesuatu yang lebih baik. Hal inilah yang membuat saya harus merasa bangkit. Merasa dalam perjalanan hidup telah mendatangkan batasan, membuat saya justru tidak mendatangkan lebih banyak batasan dalam hidup. Apapun yang terjadi tetep harus berusaha bangkit untuk mengatasi batasan tersebut. Saya ingin membuktikan mampu. Membuktikan untuk diri sendiri, saya mampu. Iya, pembuktian itu hanya untuk diri sendiri saja.

Mengapa pembuktian diri sendiri saja? Ibaratnya, saya tidak mau menjadi orang yang berjalan menuju sinar terang. Sinarnya akan terlalu silau untuk saya lihat sendiri bahkan justru membutakan mata hati. Dimana di sekeliling telah berbuat lebih namun saya tidak mampu melihat dan mengambil hikmahnya. Biarkan sinarnya mendekap dalam hati saja. Tokh bagaimanapun cahaya tersebut akan tetap bersinar meskipun hanya dalam hati. Kenyataannya sinar yang di dekap dalam hati justru lebih membuat bermanfaat. Bermanfaat menerangi jalan yang akan ditempuh tanpa membuat silau seperti halnya kalau sinar itu keluar dari hati. (Ha..ha puitis banget Bu…)

Demikian pula pengalaman ketika bekerja. Pekerjaan yang telah saya jalani selama hampir 6 tahun telah mempertemukan dengan berbagai orang dari berbagai karakteristik. Dari berbagai latar belakang. Dari sebagian para bimbingan tersebut membuat saya melihat bagaimana orang yang membatasi dirinya justru membuat dirinya berkembang menjadi pribadi penuh negatif.
Saya mengalami sendiri teramat susah untuk membimbing klien yang memulai bimbingan dengan meletakkan tangan di atas dahi dan berkata “aduh, mbak. Sulit sekali. Saya pusing”. Itu padahal berlangsung pada awal bimbingan. Belum juga menghadapi apapun. Kemudian membuat seribu alasan atas ketidakmauan mereka untuk mencoba. Kalau bertemu dengan klien dengan karakteristik seperti ini dipastikan saya mesti bersusah payah untuk membantu dirinya. Bisa anda bayangkan bagaimana membimbing orang yang telah membatasi dirinya pada awal bimbingan....
Pada proses selanjutnya ketika berhadapan dengan klien dengan karakter membatasi diri ini adalah merasa bahwa tugas akhir yang dijalankan bukan kewajiban mereka. Saya pasti akan kesulitan untuk membangkitkan rasa bahwa proses ini adalah memang untuk keuntungan mereka. Jadi mereka harus mengambil bagian. Minimal dengan belajar dengan baik. Mereka pun harus menyadari bahwa saya hanya menjadi seorang dari beberapa unsur yang membantu namun sebagian besar terletak pada kemampuan dia. Kesulitan kedua dari orang yang sudah meletakkan batasan di awal adalah tidak pernah menghargai pekerjaan apapun yang dilakukan oleh orang yang sudah membantu mereka. Pokoknya tahu bayar dan semua terselesaikan. Kenyataannya, tugas akhir juga berkaitan dengan pengembangan karakteristik. Tidak mau bersusah payah. Seolah-olah mereka hanya menjadi tukang pos. Jangan tanya bagaimana ketika mereka harus menghadapi ujian akhir. Ketika ada kesulitan sedikit maka yang dilakukan hanya menyalahkan orang.
Ketiga, input apapun yang dimasukkan sepertinya susah sekali untuk masuk. Bagaimana mau masuk dalam pikiran, sedangkan mereka hanya berkutat pada adanya "aku" saja. Rugi khan...membayar saya sebagai konsultan tapi gak dapat input apapun.

Oleh karenanya satu hal yang menjadi kesamaan ketika memulai proses bimbingan adalah meyakinkan orang bahwa dirinya mampu.

Berbeda halnya ketika saya berhadapan dengan orang-orang yang mungkin awalnya sudah mencoba atau minimal keinginan untuk mencoba. Dilengkapi dengan karakteristik tersebut maka mereka lebih mudah untuk termotivasi. Mereka mampu untuk mengembangkan kapasitas untuk kemudian mengatasi berbagai kesulitan bersama-sama. Di akhir proses, mereka akan mendapatkan sebuah pelajaran baru. Tidak hanya dalam bidang keilmuan namun karakteristik pribadi yang berkembang pula.  Mereka belajar untuk menghargai apa yang disebut dengan proses.

Pengalaman bertemu dengan orang-orang yang telah membatasi dirinya menunjukkan bahwa sepertinya orang yang sudah membatasi dirinya itu kok ya seiring dengan lamanya waktu pada akhirnya menjadi orang justru tidak menghargai orang lain. Mungkin sama-lah seperti yang saya ibaratkan dalam sinar yang terlalu terang di atas. Hanya mampu melihat diri sendiri dan tidak melihat di sekitarnya telah berbuat lebih. Mereka juga kemudian tidak mampu menghargai hal-hal di luar lingkungan. Menjadikan indicator yang mereka miliki menjadi satu-satunya penilaian mutlak. Lihat baju ya merek…liat kemampuan ya dari singkatan yang berjejer di depan dan di belakang nama. Begitulah....

Sekedar berbagi cerita saja. Beberapa kali saya pernah mengalami konflik dengan orang semacam ini. Maaf, ada orang yang menjunjung tinggi bahwa pekerjaan adalah pulang dan pagi dengan berseragam menganggap pekerjaan yang saya jalani bukan termasuk jenis pekerjaan yang mendatangkan penghasilan yang cukup. Saya menjadi seorang wiraswastawan karena pilihan bukannya tidak ada tawaran pekerjaan alias tidak laku. Ada beberapa pertimbangan yang membuat menjatuhkan pilihan bahwa wiraswasta bagi saya lebih cocok. Cocok dalam pendapatan, cocok dalam membagi waktu dan cocok dengan karakter pribadi. Beberapa kali saya bertemu dengan orang yang menyamakan indicator yang mereka miliki. Kerja itu ya baju rapi dengan berangkat dan pulang jam sekian. Kalau kantor itu yang ada papan namanya dan jumlah karyawan sekian. He…he. Padahal itu gak berlaku dengan jenis pekerjaan saya. At the end pernah saya dibilang partikelir. What’s  the meaning of partikelir..???? tong…ting…teng….

Dari beberapa pengalaman hidup tersebut memunculkan karakter saya yang baru yaitu pengennya coba-coba. Pengen belajar itu, pengen belajar ini. Mau melakukan itu dan melakukan ini. Pada akhirnya yang bisa membatasi adalah kondisi dan situasi. Bukannya kemauan.

Keinginan utama saya adalah maunya sama anak-anak nantinya akan mengadakan perjalanan keliling dunia….someday. Minimal keliling Indonesia. Saya ingin anak-anak belajar langsung dari pengalaman mereka untuk melihat, mendengar dan merasakan bahwa Allah menciptakan banyak keanekaragaman yang sepatutnya untuk di syukuri dan bukannya menjadi penghalang satu sama lain (atau justru menjadi sesuatu yang disamaratakan). Amiennn...

Tapi tetep saja, dalam perjalanan ada rasa suntuk juga. Kalau dah gini rasanya lemes. Mau kerjain apa-apa semua jadi gak beres. Kalau dulu bisa kerjain segala macam dalam waktu sekian….sekarang jadinya molor. Akhirnya saya kemudian tergantung pada beberapa pembangkit motivasi. Hal pertama dan paling besar untuk memotivasi dalam kehidupan ya..karena kehadiran anak-anak. Bahkan ketika mereka belum hadir dalam kehidupan saya. Jauh..jauh sekali. Saya berpikir kalau mereka menjalani seperti apa yang telah dilewati, betapa saya kecewa. Tidak mampu membuat kondisi lebih baik. Itulah yang membuat saya bertahan dalam kondisi paling sulit. Ketika waktunya menguji kewarasan.

Kedua, saya kecanduan rasa puas ketika mampu melewati sesuatu. Anda pasti pernah merasakan bagaimana rasa itu. Mencoba sampai titik rasa menyerah menyerbu tapi disaat terbaik, Allah memberikan jalan tersebut. Merasakan kepuasan sekaligus membuat kita merasa sangat kecil. Apalah kita kalau tanpa pertolongan-Mu. Rasa seperti itu-lah yang membuat saya kecanduan. Pengen dan pengen lagi. Membuat merasakan hal yang sama.

Karenanya, kalau ditanya memang sudah membuktikan apa dalam hidup; saya tidak akan mampu menunjukkan apapun. Kecuali satu hal, mengatasi rasa takut untuk tetap terus bergerak menjadi baik. Tidak menjadi katak dalam tempurung yang mencipatakan banyak batasan dalam hidup. Mengatasinya berkali-kali untuk tetap maju. Di saat apapun. Saya tidak mau menjadi katak dalam tempurung. 

Jumat, 03 Juni 2011

MY HOBBIES

Ada beberapa hobi saya yang ternyata tetap konsisten dipelihara sampe sekarang. Dari jaman kecil sampe sekarang punya anak kecil. Kalau dilihat sebenarnya hobinya sih biasa-biasa saja. Gak keluar budget banyak, malah kalau memasak juga jadi bagian dari kegiatan sehari-hari. Nyatanya sih yang  dari hobi-hobi tersebut tidak hanya mendatangkan kesenangan namun diantaranya menjadi pendukung dalam pekerjaan saat ini. membuat berkenalan dengan hal-hal baru. Ternyata juga membantu untuk mengembangkan berbagai kemampuan baru..Inilah hobi-hobi saya

Hobi pertama adalah membaca. Iya, saya sangat senang membaca. Dari komik (sampe sekarang  masih saja hobi baca komik), novel sampai buku teks alias buku untuk rujukan referensi penelitian. Tema-nya juga macem-macem. Apapun kalau memang sedang tertarik atau membutuhkan, ya di baca. Prinsip saya, ilmu ada dalam semua bentuk buku. Entah dalam komik yang mungkin dianggap sebagai bacaan orang gak serius dan gak bermanfaat, hanya membuang waktu. Kenyataannya gak juga. Semua itu sebenarnya tergantung pada orang bisa mengambil ilmunya saja. Jadi tidak menyalahkan medianya. He…he…Ada lo komik yang isinya ternyata belajar mengenai sejarah pergantian kepemimpinan di Jepang. Atau baru tahu bahwa di jaman dahulu, lilin merupakan barang mahal sehingga para penulis besar jaman dahulu pun ternyata seringkali menumpang menulis di kafe jalanan. 

Saya senang membaca berbagai buku karena orangnya memang senang kenal ilmu baru alias seneng coba-coba. Terakhir, pengennya belajar jadi profiler alias tebak personal dari penampilan tapi sampe saat ini belum nemu buku yang tepat (Any recommended ?).  Mungkin ke depannya mau belajar ilmu bahasa asing..amien.
Sekarang hobi membaca saya mulai bergeser tidak hanya membaca dalam bentuk buku teks namun juga googling. Jadi kalau ada waktu iseng dan kebetulan gak bawa buku, saya mulai deh browsing melalui HP. Apa saja sekarang bisa dicari melalu mbah goggle. Istilah asing yang saya mulanya gak ngerti, cukup diketikkan sebagai kata kunci dan….Walah keluar deh berbagai informasi.
Pekerjaan saya yang berhubungan dengan tulis menulis ilmiah juga mengharuskan membaca banyak buku. Itulah mengapa saya sebenarnya senang dengan pekerjaan tersebut. Terkecuali stress saat harus menghadapi karakter si klien yang terkadang tidak menghargai proses, saya sebenarnya sangat menikmati pekerjaan tersebut. Membuat saya mengenal berbagai ilmu (jadi tidak hanya terpatok pada sekolah formal) dan terutama mengharuskan untuk banyak membaca.

 Saking senengnya membaca, dlu waktu jaman susah bercita-cita untuk membuat perpustakaan keluarga. (sssttt…..sekrang sih sebenarnya masih jaman susah. Cuma sudah agak beranjak sedikiiiiiitttt. Alhamdulillah. Minimal untuk membelikan susu popok anak-anak sudah tidak khawatir)  Sekarang koleksi buku tersebut sudah ada 6 rak. Itu juga belum yang hilang atau tersimpan dalam boks. Nantinya buku itu untuk mendampingi anak-anak saya untuk tumbuh kembang sekaligus investasi bagi mereka.
Kalau melihat riwayat ketika masa kecil, saya bisa membaca itu termasuk terhitung yang telat…baru bisa membaca ketika sudah memasuki kelas 2 SD. Setelah dewasa dan mulai mencari tahu sendiri, ternyata saya mempunyai disleksia ringan..ya agak kesulitan untuk mengeja. Sampai sekarang, saya kesulitan untuk membedakan dan berkata kanan-kiri, ubi jalar-singkong, Maradonna dan Madonna, India dan Indian, Italia-Spanyol. Bukan berarti gak tahu lo…saya tahu itu tapi kalau pas ngomong kok keluarnya lain ya. 
Nah dari bisa membaca itulah, saya jadi kaya orang kecanduan. Segala macam di baca. Bahkan waktu kelas empat SD, saya sudah membaca catatan pinggir-nya Goenawan Moehamad dan Garis-Garis Besar Sejarah Amerika. Bukan karena saya anak pintar lo…tapi karena di rumah kurang mencukupi kebutuhan untuk membaca.Ckkk… Jadi apa adanya ya saya baca. Ha...ha kasian ya. Buku untuk anak dulu khan sangat terbatas, tidak seperti sekrang. Saya sangat bersyukur untuk tumbuh kembang anak sekarang sudah berbeda. Tema bukunya bagus-bagus. Selain itu juga ada buku bantal, buku sentuh, buku lipat, dan bahkan buku bisa membaca sendiri. Tinggal sentuh. Belajar dari itu, selain menumbuhkan minat anak-anak saya untuk membaca, ya disediakan berbagai bacaan di rumah sesuai dengan tahapan perkembangan. Seimbang...

Hobi saya yang kedua adalah kuliner. Ketahuan khan dari perubahan bentuk tubuh. Ha..ha…ha….Tidak hanya mencicipi masakan khas di suatu daerah namun saya juga senang memasak.
Bagi saya, memasak itu bukan hanya karena kewajiban sebagai seorang ibu rumah tangga. Tapi juga sebuah kesenangan. Mencoba resep baru dan kemudian diterima dengan baikoleh si korban percobaan saya (ya itu, pakne). Di keluarga besar, bahkan para pakdhe-pakdhe pun mahir masak. Kalo Pakdhe Tris jagonya bikin seafood, Pakdhe Mono (alm) sukanya bikin kaldu ayam kampung yang mak nyuss…Mereka gak mandang tuh kalau masak cuma porsinya perempuan. Mereka masak ya karena suka. Kalau suami saya sih sudah pernah mencoba dan hasilnya, hiks... Ceritanya si ayah masak sayur asem kok rasanya mirip kolak….(maaf ya Yah)
Kegiatan memasak itu juga gak hanya sekedar memasukkan bahan tapi juga membutuhkan mood yang baik. Membutuhkan pula upaya untuk mempelajari karakter orang yang akan memakan masakan kita sehingga nantinya mereka dapat menerima dengan baik. 
Untuk urusan di rumah jelas jadi pelanggan utama masakan saya adalah anak-anak. Namanya juga anak-anak seringnya maunya beda-beda…jadi saya harus menyesuaiakan dengan kondisi tubuh dan maunya mereka. Kalau lagi sakit, saya kemudian membuatkan makanan yang sekiranya Denia dan Qila mau memakan namun juga membuat tubuh mereka cepat sembuh. Pintar-pintarnya saya yang memasak bu..dikreasi. Alhamdulillah, Denia dan Qila sangat senang kalau saya masakkan meskipun sedang sakit.
Demikian pula kalau ada tamu yang berkunjung, saya akan memperkirakan kira-kira mereka maunya makan apa ya…cuacanya gimana ya…Kalaupun saya gak masak sendiri dan mengajak mereka makan di luar pun, hal yang sama dilakukan. Menebak karakter dan kemudian memperkirakan gimana ya kondisi saat itu.
Bukan sok nge-chef atau perfeksionis. Cuma bagi saya, mendatangkan suatu kebahagiaan kalau masakan tersebut dapat memberikan kebahagiaan tidak hanya rasa kenyang.

Hobi yang ketiga adalah nonton film..pernah lo saking saya gila nonton film, sehari langsung nonton dua kali. Pulangnya langsung tepar…
Hobi saya ini ternyata sama dengan suami. Jadi selain membaca buku, kami sangat senang untuk menonton film. Semua film kami suka  tapi untuk pilihan tema film tetep beda. Suami saya sangat tidak suka nonton film horror atau ada adegan yang mengejutkan. Katanya mending beneran lewat kuburan daripada nonton film horror. Seramnya di kenyataan tidak sehebat kalau nonton horror. Jadinya saya juga hampir gak pernah nonton film horror. Suami saya sih lebih suka nonton film komedi (terutama Stephen Chow. Forever…ketularan Kang Antok). Kalau saya sukanya film yang ada muatan sejarah.
Sama halnya dengan membaca buku, saya gak pernah membatasi dan mengatakan bahwa film hanya untuk kesenangan. Sebenarnya ilmu atau manfaat apapun bisa diambil bahkan dalam bentuk berbagai film atau buku. Dari film, saya kemudian tahu bagaimana kondisi masyarakat Afghanistan ketika mas kawin menjadi barang sangat mahal berimbas pada tingkat kejahatan seksual anak-anak laki di bawah umur (film Kite Runner). Ada sastrawan yang memulai teater sebagai penggambaran kehidupan baik dari latar, tema maupun konflik yang dibangun di wilayah Spanyol (film Lope). Jadi tahu bagaimana berdebat seharusnya dilakukan (the Great Debaters). Atau hanya sekedar tertawa melihat Stephen Chow dan Ng Ma berbuat konyol.
Jadi sebenarnya sedih juga sekarang gak ada film impor yang branded (film Holywood)..he..he. tapi di kondisi ini saya juga melihat ternyata ada film yang justru gak branded tapi bagus. Sekarang saya jadi mulai melirik film Spanyol, Swedia (The Girl with Dragon Tatoo series) dan Perancis. Ternyata malah lebih bagus dari film branded. Untuk film Indonesia, saya suka film Merantau dan Sang Pencerah. Untuk Sang Pencerah, kami sudah nonton 5 kali tapi masih saja nangis saat adegan langgarnya Kyai Dahlan di rubuhkan. Iya kami menangin karena ternyata cerita di film tersebut sesuai dengan keadaan kami saat ini. Untuk beristiqomah itu sangat berat. Demikian pula untuk menjaga hati supaya tidak sombong dll...Di film Sang Pencerah, dikisahkan bagaimana Kya melewati perjuangannya yang sangat berat, sedangkan kami baru sepersekian dari perjuangan itu


Itulah tiga hobi saya saat ini. Iya untuk saat ini…karena sebenarnya ada hobi saya yang lain travelling. Tapi untuk yang saat ini terpaksa dipendam dulu. Nanti kalau anak-anak sudah bisa diajak, kami (saya dan suami) akan melanjutkan berpetualang. Itulah salah satu kesamaan hobi antara suami dan saya. Dulu kami sama-sama suka berpetualang. Naik ke puncak Gunung Merbabu dan menjelajah kawasan lereng gunung Merbabu dari wilayah Boyolali sampai Temanggung tembus ke Kopeng (Salatiga). 


Jadi kalau anda tanyakan hobi apakah yang sedang di sukai dalam sekian tahun ke depan, ya itu bisa saja berubah. Ya itu, saya orangnya suka coba-coba...he...he

Selasa, 24 Mei 2011

MIRIP SIAPA YA….

Bagi  orang tua yang pernah atau saat ini memiliki anak dengan usia antara 3-7 tahun mungkin akan menyadari banyak tingkah anak-anak yang dimulai dengan meniru. Kita sering tertawa-tawa melihat bagaimana si anak ini dapat menirukan dengan baik tingkah laku orang yang ada di sekitarnya. Atau justru terkaget-kaget keheranan sambil berkata “Waduh kok yang itu ditiru juga”.

Nah cerita sama terjadi di rumah kami. Seiring dengan tumbuh kembangnya, dua anak saya menjadi pengcopi tingkah laku orang di sekitarnya dengan baik. Bahkan untuk si adik, Qila juga sudah sudah menirukan tingkah laku kami.  Tentu saja mereka menirukan kebiasaan-kebiasaan kami dengan cara sendiri.
Jadi suatu saat Denia diminta si Ayah untuk mandi dan segera melepas bajunya sendiri. Saya sendiri waktu itu sedang menyiapkan adiknya. Setelah sekian lama, Denia tetap aja gulang-guling di atas tempat tidur. Melihat Si Denia gak segera bangun maka si Ayah mendatangi sambil berkata: “Mbak Denia, ayuh to Nak. Ini dah siang lo. Dari tadi sudah dibangunkan kok masih gulang-gulung aja.”  Mau tahu jawabannya Denia: “ Yah..yah wong gak mau bangun kok dipaksain to yah..yah”. Lah kok begitu yang jawab…kami langsung shock dengernya. Nih anak niru dari siapa ya….Akhirnya setelah sekian lama kami menyadari bahwa ternyata Denia ini meniru kebiasaan saya saat sedang gak enak badan atau gak nafsu makan. Saya sering mengalami gangguan pencernaan jadi tidak bernafsu makan tapi karena si Ayah model yang berpedoman obat terbaik adalah makan, meskipun sait tetep saja dipaksa untuk makan. Saya menolak dengan ucapan yang sama ketika Denia tadi menolak untuk mandi. Waduh…nih anak makin pinter…bisa aja yang niru.

Saat yang lain pernah lo kami sampai ditegur oleh gurunya Denia. Waktu itu Denia sedang maen di rumah si ibu guru tersebut.  Guru Denia  yang satu ini memang deket dengan keluarga kami. Bahkan sudah dianggap seperti mbah putri. Jadi beliau sendiri tanpa sungkan-sungkan sering menanyakan mengenai perkembangan dua putri kami sekaligus memberikan saran.  Saat maen di rumah gurunya ini, Denia ceritanya diminta (lagi) untuk mandi. Saat itu Denia langsung menjawab; “Astagfirullah.” Tapi dengan ekpresi menaik gitu. Sekali lagi kasus diusut dan ternyata muncul dari kebiasaan yang tanpa sadar kami lakukan. He…he astagfirullah khan doa untuk meminta ampunan. Seperti doa lainnya khan seharusnya di ucapkan dengan kerendahan hati sebagai umat. Namun karena kami sering mengucapkan bersamaan dengan waktu emosi mulai meninggi. Jadi suara kami ikut meninggi satu oktaf. Aduh…aduh malunya kami. Maaf ya Nak…ayah dan mbu masih perlu belajar lebih keras lagi supaya menjadi contoh yang baik.

Dik Qila juga sudah mulai menunjukkan perilaku meniru yang sama namun lebih banyak mulai terarah. Mungkin karena kami sudah menemukan pola yang lebih baik daripada saat mengasuh Denia. He..he nasibnya Mbak Denia jadi anak pertama masih jadi korban percobaan. Dik Qila  mulai menirukan kebiasaan saya ketika menyiapkan diri ketika akan bepergian bersama. Iya Dik Qila mencari sendiri kain gendongan, botol susu dan merangkak ke depan rumah sambil menyeret tas (dik Qila sekarang belum bisa jalan baru bisa merangkak). Menirukan menggunakan sandal atau sepatu yang meskipun kebesaran tetap saja dipakai sambil diseret-seret.

Sebenarnya, sifat meniru dalam tumbuh kembangnya anak telah kami sadari. oleh karenanya terkadang kami dengan sengaja memberikan contoh, misalkan untuk menunjukkan ekspresi kasih sayang dengan mengelus kepala dan mencium pipi. Atau saat kami menunjukkan sopan-santun ketika menerima tamu.

Dari kejadian-kejadian itu kami sadar harus lebih banyak lagi mengkontrol perilaku supaya si anak mendapatkan contoh yang baik. Kami juga harus menyadari bahwa perubahan perilaku tersebut dilakukan karena memang harus dirubah (tidak baik dilakukan). Supaya tidak hanya  terkesan jaim tapi memang saatnya kami harus berubah dan dapat menjaga niat secara konsisten. Ya itu…gak mau jadi orang tua yang bisanya melarang ini itu tapi sendirinya gak mampu merubah. Biar bisa menjadi contoh…amien.


Tapi ternyata masih ada residu perilaku kurang baik yang tersampaikan. 

Minggu, 22 Mei 2011

BERDEBAT ITU ADALAH SENI BERADU LOGIKA

Minggu lalu, ayahnya anak-anak tanpa sengaja meminjam film The Great Debaters. Gak sengaja karena salah pesan film. Ternyata dari ketidaksengajaan nonton film ini kita (saya dan ayahnya anak-anak) mendapatkan beberapa pengetahuan baru. Pesan filmnya bagus, bercerita mengenai bagaimana debat itu seharusnya dilakukan. Di latar belakangi perjuangan gerakan kulit hitam di Amerika pada periode tahun 1935-an. Kalau untuk saya sih, filmnya agak berat. Jenis film yang tidak membuat tersenyum di akhir film namun berkerut dahinya. Pokoknya sepanjang nonton film, kita banyak menggeleng-gelengkan kepala (karena keheranan). Kok bisa ya….
Sebenarnya seluruh pesan dalam film tersebut bagus namun saya lebih mengagumi bagaimana  Film The Great Debaters tersebut menuturkan cara seharusnya berdebat. Berbeda sekali dengan cara debat yang ditayangkan di salah satu televisi swasta saat ini atau ketika waktu kampanye dulu. Dalam film ini menguraikan bahwa debat merupakan salah cara tepat untuk mempresentasikan jembatan logika (bahasane Lik Antok). Menghubungkan antara satu pemikiran dengan pemikiran lain dan kemudian dengan tepat diterapkan untuk menganalisa satu kasus. Kalau kasusnya berbeda maka juga membutuhkan jembatan pemikiran yang berbeda. Nah inilah menjadi titik penting menjadi seorang debaters….bagaimana mensesuaikan jembatan berpikir untuk menganalisa satu kasus dengan kasus lainnya. Untuk menerapkan ketepatan logika itu ternyata seorang debaters tidak cukup hanya menguasai satu ilmu saja. Dalam film ini mereka harus berbagai ilmu supaya dapat memandang suatu kasus dari berbagai sisi.  Selain itu mereka juga dapat menganalisa berdasarkan fakta, bukannya pendapat pribadi atau intuitif saja.
Nah di sinilah letak seni dari berdebat. Cara mereka untuk menyusun logika demi membuat argument dengan tepat. Menjadi seni karena argument-argumen tersebut disampaikan dengan indah. Tidak membuat orang merasa terhakimi namun untuk merenung bersma. Kondisi apa yang sedang mereka hadapi. Kemudian mencoba membuat solusi bersama.
Jadi salut banget ketika mereka (tim The Great Debaters) mampu menganalisis fenomena maraknya pekerja anak dengan kenyataan bahwa kondisi social ekonomi masyarakat Amerika yang terpuruk setelah masa Great Depression. Negara juga membutuhkan lebih banyak tenga kerja saat industri mulai mengalami pemulihan Di sisi lain juga  mempertimbangkan hak anak-anak adalah bermain serta tumbuh kembang. Adegan itu menunjukkan tim Great Debaters menganalisis dari ilmu sosiologi, psikologi anak, sekaligus ekonomi 
Selain itu para debaters juga harus memiliki karakter kuat dalam kepercayaan diri dan mampu menghargai orang lain. Kepercayaan diri penting untuk menguasai diri di depan khalayak umum. Demikian pula karakter menghargai orang lain. Ketika saatnya memang analisa yang diberikan tidak mampu memberikan suatu hasil akhir memuaskan maka pihak tersebut dengan “lapang dada” menerima logika lawan sebagai yang logika terbaik. Artinya tidak selalu debat adalah bertahan namun ada juga saatnya harus menerima. Mereka tidak memandang siapa yang menyampaikan namun memfokuskan pada apa yang sedang di sampaikan. Jadi ceritanya saking grup the Great Debaters tersebut mampu menyampaikan argumen yang bagus....para penonton kulit putih memberikan apresiasi tak kalah meriah dibandingkan dari tim kulit putih sendiri. Padahal kondisi rasis di masyarakat Amerika saat itu sangat kuat jadi kecil kemungkinan kaum kulit putih memberikan apreasiasi demikian hebat
Nah inilah salah satu perbedaan paling menonjol dari debat yang ada di Indonesia. Beda khan di Indonesia, masih banyak kata “pokok men”. Apalagi pakai acara adu lempar perlengkapan gedung. He..he..itu adu debat apa cabang olahraga lempar cakram ya…
Lewat film tersebut saya kemudian jadi memahami mengapa debat dapat dijadikan titik ukur dalam pemilihan pemimpin. Debat menjadi acuan dalam menilai penguasaan pengetahuan ilmu calon pemimpin. Klo si calon pemimpin ini makin mampu menganalisa dari berbagai sisi dan kemudian memberikan analisa yang tepat pada suatu kasus maka kita dapat menilai bahwa beliau merupakan seseorang yang memiliki kekayaan ilmu. Demikian pula dengan melihat karakter kepercayaan diri dan kemampuan bernegoisasi. Hal ini penting untuk menjalin kerjasama. Namanya juga pemimpin khan harus mampu membangun kerjasama baik dengan tim yang dipimpin. Bener-bener baru tahu….makanya kenapa di Amerika atau di negara-negara maju memasukkan debat dalam salah satu acara wajib kampanye pemilihan pemimpin dalam tingkatan apapun. Dari tingkat senator sampai tingkatan pemimpin negara. Demikian pula saat mereka melakukan sosialiasi program. Gak cuma slogan “jadi pilihlah aku”..tapi berganti menjadi “mengapa memilih aku”.
Gara-gara salah film ternyata membawa pengetahuan baru ya.

MENGAPA KITA (HARUS) MENGHARGAI KREATIFITAS ORANG ??

Tahukah anda bahwa keharusan kita untuk menghargai kreatifitas orang bukan saja karena kewajiban namun juga karena manfaat bagi diri sendiri. Iya…jadi kata harus pada kalimat diatas dibangun bukan hanya pada kewajiban namun manfaat yang diperoleh.
Seseorang yang sangggup untuk menghargai kreatifitas orang akan memunculkan input baru dalam perkembangannya. Mereka akan belajar menemukan pola-pola bagaimana orang si empunya kreatifitas dalam melewati suatu permasalahan, kemudian menemukan bagaimana mereka bisa menemukan suatu solusi dan keberanian untuk memulai. Kita juga akan belajar bagaimana menjaga kekukuhan hati untuk melewati semua kesulitan dan hambatan. Proses seperti ini disebut juga sebagai upaya untuk belajar dari pengalaman orang lain. Dengan demikian manfaat yang diperoleh akan sebaik ketika mendapatkan manfaat dari menjalani sendiri.
Sama saja ketika membaca biografi orang-orang yang terkenal. Orang-orang yang telah mendapatkan pengakuan dari lebih banyak orang. Hanya saja kreatifitas tersebut terkadang muncul dari orang-orang di sekitar anda. Orang-orang yang mungkin tidak anda kira mampu berbuat demikian  Dalam kasus seperti ini maka anda berupaya untuk menghargai sebuah kreatifitas tanpa melihat sosoknya namun melulu hanya pada prosesnya saja.
Tentu saja untuk mendapatkan input dari proses menghargai disertai dengan sifat- seperti mengakui dalam menerima kekurangan, kelemahan, kelebihan dan kekuatan diri. Dengan demikian kita akan mengadaptasi kreativitas dengan diri sendiri. Harus juga diiringi dengan sikap mau mengakui keunggulan si empunya kreatifitas. He..he kalau yang ini sulit ya dilakukan. Untuk mengakui kelemahan diri sendiri saja sulit apalagi harus mengakui keunggulan dalam kreatifitas orang lain.
Sebaliknya, Bagaimana kalau prosesnya berhenti pada kalimat “Ah..kalau begitu saja saya bisa”. Orang-orang yang berkata demikian justru akan berhenti pada kata “kalau bisa”. He..he kenyataannya ya gak bisa, kalaupun bisa karena melihat orang lian yang telah melakukan dulu bukan dari iniasitif sendiri.
Kemudian muncul pertanyaan apakah proses menghargai kreatifitas di atas termasuk dalam menjiplak. Jawabannya tentu saja berbeda. Menjiplak adalah melihat pada hasil akhir sedangkan mendapatkan manfaat dari menghargai pada prosesnya. Jangan lupa yang dimaksud dengan menghargai kreatifitas melibatkan proses mengadaptasi dengan kondisi diri sendiri. Jadi muncullah kreatifitas dalam bentuk baru. Original milik kita. 

BERBAHAGIA UNTUK HARI KEMARIN, HARI INI DAN MENDATANG

Salah satu pertanyaan abadi dalam kehidupan manusia adalah: Apakah anda berbahagia? Jawabannya tentu bagi masing-masing orang sangat berbeda. Bahkan apabila anda tanyakan dengan orang yang sama namun seiring dengan waktu berlalu tentu akan menghasilkan jawaban yang berbeda pula.
Dalam ilmu psikologi sendiri, kebahagiaan sering dikaitkan dengan happiness (Diener, 2000 dan Myers, 2000). Mereka menyatakan bahwa kebahagiaan adalah evaluasi manusia secara kognitif dan afektif terhadap kehidupan mereka. Dengan demikian ada dua komponen  kebahagiaan dalam ilmu psikologi yaitu komponen kognitif sering disebut dengan kepuasan hidup dan komponen afektif sering dikaitkan dengan emosi. Artinya orang yang mampu memuaskan berbagai kebutuhan  akan cenderung memiliki emosi yang positif (emosi yang mengarah kebahagiaan, kesenangan dan lain-lain). Dengan singkat bahwa kebahagiaan itu dikaitkan dengan pemenuhan kebutuhan atau yang disebut dengan harapan.  
Sedangkan dalam teori Maslow menyebutkan bahwa manusia memiliki tingkatan kebutuhan. Dimana tingkat kebutuhan tersebut dibagi dalam lima tingkatan yaitu kebutuhan fisiologis, kebutuhan keamanan, kebutuhan social, penghargaan dan aktualisasi diri. Di dalam teori tersebut juga menyebutkan bahwa seorang manusia akan bergerak untuk memenuhi tingkat kebutuhan yang berada pada tingkatan di atasnya apabila sudah memenuhi tingkatan di bawahnya. Ketika orang tersebut belum memenuhi kebutuhan maka muncullah konsep harapan yang menggerakan mereka untuk bergerak ke tingkatan di atasnya. Demikian gerakan tersebut mendorong mereka ke atas dan terus ke atas.
Nah …kenyataannya dalam kehidupan manusia tidak memiliki tingkat tanggapan yang sama terhadap tingkat kepuasan kebutuhan. Satu orang akan puas apabila sudah memiliki rumah, mobil, atau sejumlah perhiasan. Satu orang yang lain akan memiliki kepuasan cukup berbahagia dengan aktualisasi diri di tengah masyarakat sedang yang lain cukup bahagia ketika mengabdikan diri. Kita tidak bisa mengatakan bahwa: “Kamu akan bahagia dengan jalan yang aku tempuh. Lihat sekarang aku sudah mampu memiliki ini dan itu”. Di sisi lain orang tersebut akan mengatakan: “ Bagaimana mungkin aku bahagia, sedangkan bukan itu yang aku harapkan. Bukan itu pula jalan yang aku harapkan dapat memenuhi semua keinginanku.” Hal inilah yang nantinya mengarahkan jawaban mengenai kebahagiaan menjadi sangat subjektif karenanya kenyataannya kebutuhan satu orang dengan yang lain sangat berbeda.
(Hiks maaf ya kalau ternyata bagian tulisan ini tidak membuat bahagia….yang nulis aja pusing @_@)
Artinya apabila anda mengkonsepkan kebahagiaan dengan tingkat pemenuhan kebutuhan hidup maka tidak akan ada pernah kata cukup. Selalu saja manusia akan bergerak sampai dalam tingkatan kualitas (tingkatan kebutuhan yang berada di atasnya) dan secara kuantitas (jumlah kebutuhan). Akhirnya kita selalu dipusingkan dengan keinginan yang beraneka macam. Justru tidak akan pernah meraih apa yang disebut dengan emosi positif (kebahagiaan).
Demikian pula  saat melirik dan mulai membandingkan ke tetangga sebelah, teman atau ke rekan kerja terdekat. Lihat temen bikin status di FB punya barang apa atau baru pergi kemana bilangnya pamer. Tapi kalau kita baru punya barang apa, pengennya langsung up date status. Sama saja ketika merasa "paling" ketika melaksanakan atau mengerjakan sesuatu. Padahal OK-nya justru karena paling sesuai dengan kondisi kita. Pilihan terhadap bagaimana melaksanakan atau mengerjakan sesuatu dalam kehidupan tersebut belum tentu sesuai untuk kondisi yang berbeda. Dengan begitu tidak mungkin dapat menilai kebahagiaan berdasarkan kebahagiaan orang lain. Lagi pula terkadang kita lupa, ada unsur bahwa orang cenderung membanggakan apa yang mereka punyai. Bukan pada proses yang harus dilewati.
Sama halnya dengan ketika mempertanyakan pilihan dalam kehidupan. Saya ambil contoh saja bagaimana seorang ibu bekerja kemudian sering mempertanyakan bagaimana seandainya dirinya menjadi ibu rumah tangga.  Akhirnya dirinya tidak terfokus untuk mengerjakan apa yang sebaiknya namun justru menghabiskan energi untuk berandai-andai. Dalam kondisi apapun, pilihan adalah mutlak hasil pemikiran diri sendiri. Pilihan mungkin muncul dalam kondisi yang tidak diinginkan namun bagaimana memilih bukankah muncul karena keinginan kita. Direfleksikan dari pengalaman, kemudian dari berbagai kemungkinan; diambil yang terbaik. terus mengapa kita meragukan akan pilihan sendiri. 
Di sisi lain, sebenarnya kita dapat membuat diri bahagia dengan memulai dengan emosi positif baru kemudian bergerak untuk memenuhi kebutuhan. Artinya konsep tersebut akan melawan arah dari kedua teori diatas. Dalam teori di atas emosi positif terbentuk setelah berhasil memenuhi kebutuhan sedangkan dalam konsep terakhir memulai dengan kebahagiaan baru kemudian memenuhi kebutuhan. Bukankah kita sendiri yang dapat mengontrol bagaimana membentuk emosi positif….
Emosi positif justru membuat mampu meraih lebih banyak keinginan. Digerakkan oleh suatu kesenangan maka kemampuan dapat teroptimimalisasi. Berbagai kesulitan dapat terlewatkan sembari berkata “ah itu khan hanya hambatan kecil”. Digerakkan dengan motivasi maka kita dapat menjangkau sesuatu yang sepertinya tak teraih. Tanpa terpatok pada hierarki tingkatan kebutuhan, bisa kok memenuhi kebutuhan makan minum dengan aktualisasi diri. Tanpa membandingkan dengan orang lain, kita dapat berkata: “Ini cukup untuk aku…karena ini yang paling sesuai untukku.” Dalam kondisi begini ternyata butuh lebih banyak: “sometimes, cuek is the best”.
Kalau saya, tentu akan sangat bahagia sekali bila menikmati sarapan dengan secangkir teh panas di pagi hari (mengingat rush hour pagi: mulai menyiapkan anak-anak dan memilih pekerjaan yang akan di bawa ke kantor. Jadinya suka bikin teh tapi pas minum sudah dingin. He..he kelupaan). Kemudian di siang hari menyelesaikan pekerjaan dan datang bimbingan mengatakan:”Terima kasih ya mbak, akhirnya saya bisa memahami tulisannya”. Di sore hari maen dengan anak-anak dan bapaknya anak. Malam hari menjelang tidur di ngobrol bareng ayah, mengevaluasi  hari ini dan merencanakan target mendatang.  Ditutup, tidur dengan perasaan “besok pasti jadi hari yang lebih baik”.
Bukan berarti saya tidak memiliki harapan atau keinginan. Pengen beli ini atau pengen punya itu…tapi tidak saya posisikan menjadi suatu beban namun tujuan. Kalau saya dapat melewatkan kegiatan terbaik maka sisanya harus diserahkan pada Allah. Dia pasti tahu kok apa yang terbaik untuk saya…..Itu saya pahami bukan berarti tidak melewati proses untuk memahaminya sangat berat. Ternyata dengan berbaik sangka pada Allah, saya lebih banyak menyadari bahwa lebih banyak yang di dapatkan  dari apa yang diinginkan. Allah memberikan dengan tepat apa kebutuhan saya. Memberikan kekuatan untuk berkata tidak di saat seharusnya berkata tidak dan memberikan kekuatan untuk diam jika memang saatnya tidak mendatangkan manfaat bagi saya. Memberikan scenario besar yang di akhirnya baru dipahami sebagai ini memang benar-benar sesuai.
Pada akhirnya, saya berharap kita semua dapat berbahagia setiap hari. Bukan hanya karena dapat memenuhi kebutuhan atau keinginan namun padaj proses yang mampu dilewati. Melewati hierarki kebutuhan dengan selalu mengabdikan diri pada kebermanfaatan bagi diri sendiri dan orang lain. Mampu membentuk emosi positif bahkan di saat terburuk. Mampu melihat kebahagiaan di setiap tahapan hidup baik untuk  masa lalu karena hikmah yang dapat diambil, masa kini karena anugerah dapat menjalani pilihan dan masa depan untuk impian yang lebih baik.

Sabtu, 14 Mei 2011

APAKAH BAGI ANAK BELAJAR ≠ BERMAIN

Pertama-tama mari kita coba mengingat bersama pengalaman dengan kata “belajar” waktu kecil dulu. Bagaimana kita mesti dipaksa oleh orangtua kita ketika waktu untuk belajar. Klo gak kabur, menangis, merengek atau malah pura-pura sakit perut!!  
Saya sendiri pernah sampai bermimpi masuk ujian yang ternyata sudah dilakukan. Sampai saya protes…saya khan sudah ujian kelulusan kok ujian lagi. Kenapa saya balik lagi. Tidaaaaakkkkk….(serasa kaya bintang sinetron)
Ternyata tidak nyaman ya…
Sebaliknya bagaimana kalau belajar itu menyenangkan. Dilakukan sambil bermain.
Seandainya kalau kita bisa memasukkan konsep mengenal angka dengan menempel, menggunting dan mewarnai. Mengenalkan konsep menambah dan mengurangi dengan menggunakan permainan congklak alias dakon (itu lo mainan yang ada lubang-lubangnya berjejer tapi diujung kanan dan kiri ada lubang yang lebih besar. Kemudian biji permainan diambil dan dibagikan rata di setiap lubang). Bukankah matematika tidak hanya berupa rumus namun suatu ilmu yang membantu kita untuk berhitung di kegiatan sehari-hari.
Atau daripada anak harus mengingat tanggal-tanggal dalam mata pelajaran sejarah, digantikan dengan buku cerita mengenai sosok pahlawan/peristiwa tertentu, dan menonton film berdasarkan sejarah. Bukankah inti dari pelajaran sejarah adalah mengingat ada apa yang terjadi masa lampau dan kemudian mengambil nilai penting yang harus diteladani.
Efeknya ternyata sangat berbeda.. Itulah mengapa pentingnya muncul konsep bermain adalah belajar. Menggabungkan konsep bermain dan belajar ternyata membuat anak lebih enjoy menikmati proses. Melalui bermain, proses bagi anak untuk berinteraksi dengan mengkomunikasikan apa yang mereka rasakan (eksplorasi) yang digabungkan dengan pengalaman dan berujung pada proses refleksi berlangsung dalam suasana menyenangkan. Kemudian anak-anak dapat lebih mampu menggunakan kemampuan  imajinasi untuk membuat kesimpulan. Tidak ada pemaksaan.
Dalam kenyataan proses drill (memaksa belajar) juga hanya membuat anak menghafal. Akhirnya, ya itu mudah terformat ulang. Sekarang hapal, besok ditanya ya mbuh..
Selain itu, melalui permainan maka nilai-nilai dalam pembelajaran dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini dikarenakan proses belajar bagi anak berbeda dengan proses pembelajaran orang dewasa. Bagi anak-anak, memahami dan mengingat sesuatu yang mereka pelajari haruslah memiliki kebermaknaan dan berkaitan dengan pengalaman dan perkembangan anak. Jadi belajar harus merupakan hasil interaksi berpikir anak sendiri dan pengalaman menghadapi lingkungan. Bermain merupakan media untuk anak berinteraksi dengan pikiran mereka sekaligus dengan lingkungan. Dengan kata lain, bermain menjadi media praktek nilai belajar yang nyata dalam kehidupan mereka.
Diharapkan  proses bermain sambil belajar tidak hanya meningkatkan pemahaman bagi anak namun juga memunculkan motivasi keingintahuan lebih lanjut si anak. Jika pembelajaran akhirnya relevan dengan motivasi keingintahuan anak maka mereka akan mampu berkutat untuk belajar lebih lama. Enaknya kalau anak-anak gak usah dipaksa belajar…bahkan mereka nagih,”Yah..Bun ayo kapan kita mau gunting-gunting angka lagi”. Padahal….He..he mereka khan gak sadar klo kita sebenarnya mengenalkan angka.
Bagi orangtua, untuk memungkinkan anak bermain sambil belajar adalah dengan dengan memberikan peran memfasilitasi bukan sebagai pemberi intruksi. Dengan demikian orangtua harus mampu menciptakan suasana menyenangkan ketika memasukkan input belajar. Hal ini harus memperhatikan karakteristik anak. Misalkan pada anak dengan karakteristik visual maka kekuatan belajar anak pada indera ‘mata’, kekuatan auditorial terletak pada indera ‘pendengaran’ (mendengar dan menyimak penjelasan atau cerita), dan kekuatan kinestetik terletak pada ‘perabaan’ (seperti menunjuk, menyentuh atau melakukan). Jadi satu media belajar menyenangkan harus disesuaikan dengan karakteristik sehingga tidak memberikan beban. Jadi inilah mengapa kita sebagai orangtua harus memahami karakteristik anak (artikel Istimewanya Seorang Anak). Setelah itu buatlah proses pembelajaran yang langsung dapat diamati anak. Kalau memungkinkan aplikasikan dalam kegiatan sehari-hari.
Jangan lupa, input anak hanya dalam proses memperkenalkan. Jadi jangan memaksa anak untuk memunculkan hasilnya seketika. Alias mekso anak cepet iso. Proses adalah waktu.
Sebenarnya peran kita dalam proses bermain sambil belajar tidak mudah. Bahkan kalau saya bilang, berat!! Kita sendiri juga harus melewati proses menyenangkan diri dulu baru kemudian memfasilitasi. Berkreatif ria menciptakan media menyenangkan yang sesuai dengan anak. Apalagi membagi waktu dalam keseharian kita baik bekerja dan kegiatan social kemasyarakatan. Bahkan tidak sedikit orangtua yang masih bersekolah kembali. Tapi percaya..,,rasanya menyenangkan sekali melihat input anak yang mungkin kita sudah lupakan, tiba-tiba muncul. Seperti saya pernah menyanyikan lagu atas-bawah, kanan-kiri ciptaan sendiri sambil berjoget (Diperingatkan. Jangan membayangkan bagaimana saya berjoget. Huekkk!!) setelah sekian lama…tiba-tiba ketika ditanya temennya, Denia yang waktu itu berumur 2,5 tahun sudah bisa lancar menunjuk sebuah barang yang letaknya di bagian kanan atas rak. Terharu…

Kamis, 12 Mei 2011

BAGAIMANA BILA KESEMPATAN MENGEMBANGKAN POTENSI ITU DATANG (MENURUT ANDA) DI SAAT TIDAK TEPAT

Maksudnya ??....Ya kaya saya ini.
Baru bisa kuliah kembali setelah akhirnya mempunyai kesempatan (baik dana dan waktu) setelah usia 30 tahun. Kepengennya melanjutkan kuliah itu sudah ada sejak lama tapi ternyata kesempatan ini datang baru-baru ini. Akhirnya saya berkesempatan untuk kuliah kembali. Saya ambil jurusan berbeda dari kuliah yang dulu. Program regular lo bukan kelas pekerja. Jadi temen-temen kuliah saya adalah remaja-remaja (kebanyakan dari mereka baru saja lulus SMA kemudian langsung meneruskan masuk kuliah). Jadi bisa dibayangkan kikuknya saya harus kuliah bareng  anak-anak remaja. Beda generasi, beda nilai. Harus pula naik ke lantai 3. Jadwal kuliah dari pagi sampai sore. Menyesuiakan jadwal kegiatan dengan anak-anak saya, pekerjaan dan kegiatan rumah tangga. Gak kebayang ribetnya. Di angkatan tersebut, saya tidak menemukan teman yang seusia. Sama Sekali !! Gak salah khan kalau temen-temen kuliah kemudian memanggil saya Ibu atau Mama De***.
Bahkan saya baru saja bisa mengendarai kendaraan bermotor ( kemana aja Bu ???). Ha..ha Saya baru bisa mengendarai motor 8 bulan ini. Tapi jangan tanya, seminggu setelah bisa naik motor saya dan temen-temen kuliah saya sudah jalan-jalan di pusat kota Jogjakarta. Suami saya saja sampai heran. Next target adalah belajar nyetir mobil. 
Terakhir, saya juga baru bisa mengembangkan kebisaan untuk menulis. Jadi keberanian untuk mengembangkan menulis itu datang setelah sekian tahun lamanya. Ternyata menulis itu menyenangkan. Membuat saya mengekspresikan banyak hal yang telah dipelajari. Hiks, kenapa gak dari dulu ya.
Jadi ya itu intinya sih…kesempatan mengembangkan potensi ketika lewatnya waktunya. Tidak jarang khan kita menemui seseorang yang ingin mengembangkan potensi atau belajar kemudian berkata “Ah sudah tua, buat apa?”. Padahal lewat atau tidaknya waktu itu juga sebenarnya subjektif sekali. Mungkin bagi setiap orang tepat tidaknya menyadari bahwa ada potensi dan mengembangkan bisa saja sangat berbeda. Jadi sebenarnya tidak ada kata waktu tepat atau tidak ketika mengembangkan potensi.
 Tapi tahukah anda, bahwa ketika anda menyadari adanya potensi baru yang perlu dikembangkan dalam hidup merupakan suatu anugerah sangat besar. Anugerah yang harusnya sangat disyukuri. Cukup hanya dengan proses menyadari munculnya potensi baru menunjukkan bahwa anda telah belajar hal-hal baru. Potensi baru yang muncul merupakan reaksi kita akan perubahan dari lingkungan. Menyadari adanya perubahan yang disikapi dengan proses adaptasi. Menyadari bahwa da jalan keluar yang dapat dilakukan dalam perubahan. Anda berani keluar dari kepompong kenyamanan dan bertransformasi menjadi kupu-kupu cantik siap terbang. Artinya anda berani untuk membuat sebuah solusi dibandingkan hanya mengeluh dan mengeluh. Padahal itu hanya sampai proses menyadari.
Apalagi kalau anda kemudian benar-benar mampu meneguhkan hati untuk mengembangkannya.
Jangan pula kita meremehkan potensi apapun yang muncul dalam diri. Entah itu mungkin kemampuan memasak, menjahit, membuat aseksoris, keberanian untuk berbicara di depan orang atau seperti saya saat ini, menulis di blog. Semua potensi patut untuk dikembangkan. Dalam perjalanan hidup kelak, kita tidak akan pernah tahu potensi atau ilmu apa yang akan kita pakai. Kita juga tidak tahu potensi atau ilmu mana yang justru bermanfaat. Semua potensi tersebut akan saling melengkapi dan menjadikan kita sebagai sosok yang lebih baik.
Mengembangkan potensi tidak hanya dinilai dari apakah nantinya dapat menjadi sumber penghidupan. Ada efek lain yang justru sangat bernilai. Istilahnya ayahnya Denia dan Qila adalah melengkapi karakter diri (Ciah!! Kata-katanya: karakter diri. Psikologi banget yak). Proses pengembangan potensi baru akan meningkatkan wawasan di luar pemikiran. Memahami memahami adanya karakter yang berbeda (termasuk kekurangan, kelebihan, kelemahan dan kekuatan),  kemudian membuktikan kebermanfaatan diri baik kepada diri sendiri maupun lingkungan)  sekaligus memberikan kepercayaan diri.
Mulailah proses mengembangkan potensi tersebut dari hal yang paling mungkin anda lakukan. Baru kemudian memulai proses yang lebih berat. Jangan menyerah jika memang ada hambatan dan tantangan. Justru dari hambatan dan tantangan itulah kita dapat menilai indahnya sebuah pencapaian. Buah tidak akan dinilai manis apabila tidak ada buah yang asem.  Kaya kita kalau maen game itu lo!!Mulainya dari stage beginner nanti beranjak ke stage advance. Mulainya melawan musuh yang cemen2 selanjutnya beranjak ke biang-biangnya. Pertama maen ilmunya juga cethek lama-lama keluar deh senjata penumpas si musuh yang kaliber berat. Wuahhhh…jadi ketahuan klo mantan pencandu game.
Jangan lupa, pertimbangkan pula dukungan yang anda miliki baik dari segi waktu, dana serta factor-faktor lain. Jagalah proses tersebut. Tidak ada proses yang tidak mengalami hambatan dan tantangan khan.
Jadi berbanggalah kalau anda mampu menyadari bahwa di sekian bertambahnya umur, masih ada potensi baru yang bisa dikembangkan. 

Rabu, 11 Mei 2011

BAGAIMANA CARA MENGATASI SIBLING RIVALRY (PERSAINGAN ANTAR SAUDARA)

Dalam ilmu psikologi, Sibling Rivalry diartikan sebagai permusuhan dan kecemburuan antara saudara kandung yang menimbulkan ketegangan diantara mereka. Bahasanya sih keliatan keren….padahal banyak orangtua dalam lingkungan saya yang mengeluhkan akibatnya (padahal saya dan Ayah iya juga sih). Hampir sebagian besar konflik anak yang memiliki saudara dikarenakan sibling rivalry ini.
Ceritanya, saat kelahiran anak kedua (Qila) muncul satu permasalahan yang sebenarnya telah diantisipasi..yaitu kecemburuan si Kakak (Denia) akan kehadiran adik. Pertamanya sih cemburunya Denia hanya keliatan saat si Ayah atau Mbu menggendong si adik. Kalau saya sedang menggendong Qila, Denia yang biasanya mandiri berubah minta harus ditemani Mbu. Begitu juga sebaliknya dengan Ayah…Waktu itu, Denia yang jarang merengek  berubah menjadi sering bad mood. Terakhir adalah ketika saat pembantu saya pulang tiba-tiba Denia berkata “Mbak, adiknya (maksudnya Qila) dibawa pulang aja”. Lah…!! Saya dan Ayah langsung shock.
Terus terang saya merasa sangat kecewa dengan diri sendiri ketika melihat ternyata kecemburuan Denia tetap muncul. Saya takut bahwa apa yang dilakukan selama ini salah atau kurang. Pokoknya bingung banget, bagaimana cara menselesaikan kecemburuan mbak Denia ini. Sebenarnya ketika proses kehamilan Qila , Denia sudah dipersiapkan untuk menyambut kelahiran adik. Saya mengikutkan Denia dalam setiap aktivitas ketika hamil dan persiapan kelahiran. Bercerita bagaimana seorang adik akan melengkapi keluarga kami..Saya sering berbicara dengan Denia ”adik nantinya memang banyak menangis. Masih minta banyak dibantu…seperti mbak Denia ketika kecil dlu. Nanti Denia ikut bantu Mbu dan Ayah ya, membantu menjaga adik. Nanti kalau sudah besar, mbak Denia dan dik Qila bisa main bareng. Bisa saling jaga. Gak sepi sendiri”. Begitu pula kalau ada perlengkapan Denia yang dipakai adik, saya akan menjelaskan bahwa perlengkapan ini memang milik Denia tapi karena sudah tidak muat, dipakai untuk si adik. Mengajak Denia ketika saya memeriksa kehamilan (ikut melihat si adik ketika di USG). Pokoknya prosesnya saya ulang-ulang..tapi kok tetep keluar ya cemburunya
Saya kemudian mencoba proses mencari-cari dengan membaca beberapa sumber dan akhirnya mendapatkan beberapa fakta. Pada kenyataannya yang dinamakan sibling rivalry akan selalu muncul. Entah saat si adik baru dilahirkan atau nantinya ketika mereka berkembang bersama. Bukan pada masalah saya kurang dalam mengantisipasi kecemburuan anak. (Denger kaya gini langsung hati jadi adem…cessss). Bentuknya sibling rivalry juga bisa macam-macam. Ada yang  cemburu/iri ketika melihat saudaranya mendapatkan perhatian ayah ibunya, saling mengejek satu sama lain, menunjukkan kepada saudaranya bahwa dia dapat melakukannya dengan baik atau bahkan lebih baik, bertengkar, dan memukul/menjambak rambut/mendorong hingga saudaranya terjatuh. Bahkan ada bentuk-bentuk dari sibling rivalry yang sebenarnya tidak secara langsung terlihat. Salah satunya (dari temen yang bercerita) bagaimana anak yang telah lama tidak mengompol, kembali mengompol setelah adiknya lahir.
Munculnya sibling rivalry dikarenakan perkembangan egosentris anak. Konsep egosentris adalah konsep dimana anak sedang mengembangkan konsep ke-aku-an termasuk diantaranya mengakui “Ayah dan Ibu hanya untukku”. Egosentris tidak selalu mengarah sesuatu negative tapi nantinya konsep egosentris tersebut berhubungan dengan kemampuan anak untuk memandang dirinya. Kalau si anak tidak mengukuhkan dirinya melalui egosentris maka dirinya tidak akan mampu menanggapi perbedaan yang dimiliki terhadap karakteristik berbeda dengan orang, kepercayaan diri, beradaptasi, memahami nilai-nilai toleransi dll..pokoknya banyak banget (ide baru buat tulisan nih. *ting…ting*)
Selain itu juga ada perkembangan anak ketika menghadapi konflik alias manajemen konflik. Di setiap tahapan umur (bahkan ketika dewasa) manajemen konflik dan konsep egosentris mengalami perubahan. Setiap masa perkembangan anak akan mempunyai cara pandang berbeda yang berpengaruh pada cara mereka menselesaikan konflik. Ketika perkembangan manajemen konflik mampu diarahkan pada sisi baik maka anak akan mampu membangun jalur penghubung antara bagian otak emosional dan bagian otak logika. Anak-anak yang demikian ketika menghadapi konflik akan berupaya untuk mencari solusi dibandingkan meluapkan emosi secara berlebihan. Nah ini dia, penting…penting banget!! Berharap ya Yah dan Bun..anak-anak kita kelak bisa begitu. Amien.
Meskipun fakta di atas menunjukkan bahwa konflik antar saudara sebagai bagian dari perkembangan anak, namun  sibling rivalry harus tetap diselesaikan. Harus!! Kelak apabila sibling rivalry tidak terselesaikan maka ditakutkan konflik justru semakin membesar dan berdampak pada setiap orang yang berada dalam lingkungan mereka. Salah satu contoh kasus dari sibling rivalry yang tidak diselesaikan dengan baik adalah kutipan di bawah ini:
“ Saya, 23 tahun, anak ke 9 dari 11 bersaudara, sudah tidak tahan menghadapi, melihat, mendengar sesuatu yang ada hubungannya dengan kakak laki-laki sulung saya, sebut saja B (37 tahun). Dia sudah berkeluarga dan memiliki 3 anak, tetapi masih tinggal bersama orangtua. Dari kecil, sejak saya dapat menyimpan memori, kakak sulung saya ini sudah sangat-sangat-sangat…membuat orang lain merasa tersiksa, menderita, teraniaya batin (pernah juga fisik). Kadang kami bangun malam hari sebab ia berkelahi dengan kakak yang lain. Perkelahian ini bukan yang biasa, tetapi seperti perang saja. Tiap kali berkelahi orangtua menyembunyikan benda-benda tajam. Pernah dia berkelahi dengan kakak yang sudah menikah, yang ketika itu masih tinggal bersama orangtua. B mengusir kakak saya dan bilang kalau sudah menikah harus tahu diri, jangan menumpang terus pada orangtua. Padahal dia sendiri sampai punya anak tiga masih menumpang. Munafik ya Bu. Orangtua sering membantu dia, juga saat membuka swalayan kecil. Tetapi dia malas menjaganya. Kadang-kadang berkelahi dengan istrinya sebab dia mau tidur siang-meski bangunnya sudah siang, padahal toko sedang ramai. Istri B juga sama saja. Pernah mereka berkelahi dengan kakak nomor tiga Ketika B sudah agak tenang, istrinya memanas-manasi. Sampai barang-barang milik kakak nomor tiga dirusak, bajunya disobek-sobek dan alat elektronika dicoret dengan paku. Tetapi orangtua menutupi kejadian itu, bajunya dijahit lagi, dan alat elektronik diperbaiki. Dia juga mau menguasai barang-barang di rumah. Tak terhitung banyaknya barang miliki orangtua, kakak-kakak, bahkan punya saya yang masuk ke paviliun dia dan tidak bisa diambil lagi. Dia menggunakan mobil orangtua sesuka hatinya. Kalau adiknya mau pakai dia bilang manja banget, tidak mau naik kendaraan umum. Pernah dia akan pergi, mobil dipakai orangtua menengok orang sakit dengan diantar kakak. Pulangnya dia marah-marah, padahal yang punya kan orangtua. Sampai anak-anak B menganggap mobil itu punya Papa mereka dan orangtua dianggap meminjam.” ( artikel Kompas yang dikutip dalam http://kurniawan.staff.uii.ac.id/2008/09/02/konflik-saudara-kandun/.)
Sebenarnya sih banyak contoh yang bisa di angkat namun intinya sama bahwa Sibling Rivalry harus diselesaikan dengan bantuan orangtua. Kita jadi bisa membayangkan seandainya sibling rivalry tidak segera diselesaikan oleh orangtua. Muncul perasaan dikalahkan, ketidakdilan dan ketidakpuasaan bagi si anak. Hal ini tidak menutup kemungkinan makin berkembang dan muncul kekerasan antar saudara.
Hal ini beda dengan sibling rivalry yang mampu diselesaikan dengan baik. Ketika  para ibu dan ayah mempersiapkan si Kakak ketika dengan cara mendiskusikan perasaan-perasaan dan kebutuhan-kebutuhan anak yang baru lahir dengan anak-anak yang lebih tua, maka anak-anak yang lebih tua akan lebih menyayangi adiknya. Demikian pula dengan responsivitas para ibu dan ayah terhadap kebutuhan-kebutuhan anak perempuan yang lebih muda berkorelasi positif dengan kemampuan berbagi dan menghibur anak yang lebih muda terhadap anak yang lebih tua. Dengan demikian nantinya (suatu saat) ketika mereka tumbuh dewasa, mereka akan menjadi bersaudara yang saling melindungi dan menjaga.
Sedangkan manfaat terhadap hubungan interpersonal anak ketika sibling rivalry terselesaikan dengan baik maka anak-anak akan belajar bagaimana mereka harus menyesuaikan diri dengan orang lain. Anak-anak akan belajar bagaimana bernegosiasi dan berkompromi dengan orang lain. Anak-anak akan belajar bagaimana mengembangkan pemahaman tentang keberadaan orang lain sekaligus menghargai perasaan orang lain. Hubungan antar saudara kandung juga akan mengajarkan kepada anak-anak bahwa hidup ini tidak selalu adil dan membantu mereka untuk menerima kenyataan tersebut. Anak-anak akan belajar kesabaran dan toleransi terhadap pandangan-pandangan yang berbeda. Anak-anak akan belajar tentang batasan-batasan orang lain dan bagaimana menerapkan batasan-batasan mereka
Nah dari artikel http://kurniawan.staff.uii.ac.id/2008/09/02/konflik-saudara-kandun/ ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menselesaikan sibling rivalry tersebut: (1) otoritas (memakai kekuasaan untuk mengakhiri konflik) (2) mediasi/informasi (memberikan saran-saran, informasi) (3) distraksi (mengubah focus atau mengalihkan pada isu-isu non konflik) (4) direktif (secara verbal dan atau fisik membatasi atau mengontrol anak-anak dari konflik yang lebih berbahaya) (5) manajemen antisipatori (melatih kemampuan anak-anak yang lebih muda dalam mengenali perasaan-perasaan dan keinginan-keinginannya ketika berinteraksi dengan saudara kandungnya yang lebih tua) dan (6) interaktif (ikut terlibat secara verbal dan/ atau fisik bersama dengan anak-anak dalam bermain, permainan, dan ketika mereka membaca buku-buku. Terkadang dalam menselesaikan konflik sibling rivalry juga membutuhkan pendekatan non intervensi yaitu ketika orangtua. Bingung yak mau pilih yang mana @_@.
Benernya sih Yah…Bun semua boleh diborong. Disesuiakan saja dengan kondisi.. Cuma bagaimana cara penyesuaian juga harus didasarkan beberapa hal. (Sekali lagi berdasarkan artikel tersebut) ada beberapa factor yang mempengaruhi peran orangtua dalam membantu menselesaikan sibling rivalry yaitu (1) keyakinan (belief) yang dimiliki orangtua  (2) stereotip orangtua atas anak-anaknya (3) jenis kelamin orangtua, dll.
 Intinya sih….faktor-faktor diatas membantu kita sebagai orangtua untuk lebih berhati-hati dalam membantu anak-anak ketika berselisih. Jangan sampai styreotipe dan keyakinan seperti bahwa anak tertua harus mengalah dan anak-anak selanjutnya dimenangkan, atau anak laki-laki harus lebih dominan daripada anak perempuan mempengaruhi strategi kita dalam menselesaikan konflik bersaudara. Jangan pula sampai muncul pengaruh jenis kelamin seperti pandangan bahwa ayah (laki-laki) hanya bisa melakukan pendekatan otoriter sedangkan si ibu (perempuan) hanya bisa menggunakan pendekatan mediator. Favoritisme para orangtua terhadap salah satu anaknya, misalnya, akan membuat hubungan antar saudara kandung lebih banyak diwarnai permusuhan dan agresi. Di setiap konflik perlu penanganan berbeda sehingga membutuhkan kemampuan penguasaan pendekatan terbaik demi keputusan berimbang. Jadi ngrasa kaya di pengadilan gitu gak sih…..jadi kaya hakim. Ha…ha…
 Oh iya Yah…Bun ada tambahan, orangtua secara berangsur-angsur harus memberikan kesempatan si anak untuk memulai mengambil keputusan sendiri. Momentnya disesuiakan dengan perkembangan anak yaitu ketika anak mulai belajar menghubungkan emosi dan berlogika serta mulai memasukkan pertimbangan selain kebutuhannya saja. Hal ini bertujuan supaya si anak mulai mandiri dalam mengambil keputusan. Belajar bertanggung jawab.
Fiuhhhhh….tulisannya lagi-lagi serius dan panjang banget. Cuma bisa berharap: Semoga bisa membantu…..
Lawrence E Shapiro, Mengajarkan Emotional Intelegence Pada Anak, Gramedia, Jakarta, 2003.
Goleman, Emotional Intelegence, PT Gramedia Pustaka, Jakarta, 1999
Janine Amos dan Annabel Spenceley, Mengapa Bertengkar?, Seri Problem Solvers, Penerbit Kanisius. Jogjakarta,  2004