Senin, 15 Mei 2017

FENOMENA MIRROR..MIRROR ON THE WALL


Cerita yang saya akan tulis ini sebenarnya telah lama saya amati. Namun karena saya bukan seseorang yang mendalami ilmu psikologi tentunya saya tidak berani mengambil pendapat. Jadilah saya mencuri ilmu dari seorang kawan. Kenapa psikologi?? Karena tulisan saya mengangkat perilaku seseorang yang banyak dilakukan (kalau anda jeli mengamati bahkan jumlahnya tidak sedikit), bahkan wajar dimaklumi namun sebenarnya mendatangkan kerugian bagi dirinya, orang di sekitar dan di masyarakat secara keseluruhan.

Saya punya kenalan sebut saja namanya A (akronim dari Ada deh Menyembunyikan merek..hehehhe..). Perempuan yang usianya sebenarnya sudah tidak lagi remaja. Bahkan sudah menikah bahkan lebih dari satu kali. Memiliki anak baik dari pernikahan pertama maupun kedua. Penampilannya luar biasa..merawat tubuh dan berdandan. wajahnya sehari-hari tidak terlepas dari bedak dan pelengkapnya. Gak lupa juga untuk kostum sehari-hari dari baju, sepatu atau sandal, tas semua harus modis. Semuanya harus ada untuk mendukung penampilannya. Tentunya semua ini butuh perjuangan, makanya saya amati hampir seluruh aktivitas sehari-hari dijalankan untuk mendukung penampilan prima.
Untuk sebagian dari aktivitas lainnya ya digunakan untuk social climber. Baik online maupun offline. Ini sebenarnya juga pengaruh dari berpenampilan prima. Mengarah ke pertunjukkan.. buat apa punya penampilan prima kalau tidak untuk dipertunjukkan. Hasilnya ya itu, social climber di kelompok-kelompok sosial yang yang sebenarnya bukan untuk menjalin persamaan tapi ke perbedaan. Segala macam yang trend harus segera di ikuti. Semua percakapan di media sosial harus dipantau. Notifikasi dari medsos berbunyi layaknya jam detik. Gak ada berhentinya
Permasalahan timbul ketika si A tidak mampu menjalankan perannya menjadi seorang ibu dan istri. Apalagi saya tahu suami dengan penghasilan saat ini agak kesulitan dalam memenuhi keinginan dalam merawat, berdandan serta menjadi social climber. Keinginan semacam ini telah menjadi semacam “candu” dimana si A kemudian tidak mampu lagi mengkontrol diri sendiri. Dalam hal tertentu, saya cenderung melihat si A bahkan tidak mampu menilai kemampuan diri sendiri. Apalagi menilai posisinya secara tanggung jawab pribadi dan tanggung jawab sosial di masyarakat. Jangan tanya ya, mengenai menjalankan kewajiban ya. Kalau menilai dirinya secara objektif saja tidak mampu. Apapun tuntutan yang muncul untuk menjalankan tanggung jawab pribadi dan tanggung jawab sosial di masyarakat di tutup dengan yang penting bisa berpenampilan prima. Untuk usia yang tidak lagi remaja dan bahkan telah menjalani pernikahan yang bukan pertamakali, si A tidak belajar akan bagaimana menjalankan kewajibannya. Seolah-olah waktu yang berjalan telah berhenti dengan keinginan berpenampilan prima.  
Parahnya dalam runutan waktu, si A bahkan mengacuhkan kenyataan akan posisinya yang diembannya saat ini. Untuk pengakuan bahwa dirinya yang paling memiliki penampilan pria, si A tanpa sadar menabrak etika moral. Si A merasa pengakuan akan penampilan prima yang selama ini dimiliki tidaklah cukup dari suami. Mulailah kebutuhan pengakuan beralih ke pemujaan. Inilah yang kemudian menjadi penyebab kegagalan pernikahan pertama. Dan kalau tidak segera di atasi, jelas berpotensi menjadi penyebab kegagalan pernikahan saat ini.
Fenomenanya serupa dengan ibu tiri dalam cerita Putri Salju. Menghadap kaca, meminta pengakuan. Sampai seorang pun tidak boleh lebih berpenampilan prima dibandingkan dirinya dan bersedia melakukan cara apapun. Seluruh orang yang berada di sekitarnya diminta untuk memuja. “Mirror..mirror in the wall. who's the fairest of them all?"
Apakah anda pernah mengamati kondisi seseorang di sekitar anda yang mengalami kejadian serupa dengan si A. Coba bantulah mereka dengan menyadarkan orang-orang di sekitarnya bahwa kondisi Si A semacam ini membutuhkan bantuan. Bukan sesuatu yang wajar dan harus dimaklumi. Kasihanilah si A. Berikan bantuan dengan tepat agar dapat mengingatkan dan mengembalikan ke realitas, agar orang si A mampu mengemban tanggung jawab yang dimiliki. Tentu saja untuk mendapatkan cara yang tepat, harus berkonsultasi dengan orang yang berkemampuan. Selain itu, alihkan kecanduan akan penampilan prima dengan berbagai kegiatan dengan tujuan mengaktualisasikan diri dengan cara yang lebih bermanfaat.

Epley N1, Whitchurch E,  Mirror, mirror on the wall: enhancement in self-recognition, Pers Soc Psychol Bull. 2008 Sep;34(9):1159-70.