Cerita yang saya akan
tulis ini sebenarnya telah lama saya amati. Namun karena saya bukan seseorang
yang mendalami ilmu psikologi tentunya saya tidak berani mengambil pendapat. Jadilah
saya mencuri ilmu dari seorang kawan. Kenapa psikologi?? Karena tulisan saya
mengangkat perilaku seseorang yang banyak dilakukan (kalau anda jeli mengamati
bahkan jumlahnya tidak sedikit), bahkan wajar dimaklumi namun sebenarnya
mendatangkan kerugian bagi dirinya, orang di sekitar dan di masyarakat secara
keseluruhan.
Saya punya kenalan
sebut saja namanya A (akronim dari Ada deh Menyembunyikan merek..hehehhe..). Perempuan
yang usianya sebenarnya sudah tidak lagi remaja. Bahkan sudah menikah bahkan
lebih dari satu kali. Memiliki anak baik dari pernikahan pertama maupun kedua. Penampilannya
luar biasa..merawat tubuh dan berdandan. wajahnya sehari-hari tidak terlepas
dari bedak dan pelengkapnya. Gak lupa juga untuk kostum sehari-hari dari baju,
sepatu atau sandal, tas semua harus modis. Semuanya harus ada untuk mendukung
penampilannya. Tentunya semua ini butuh perjuangan, makanya saya amati hampir seluruh
aktivitas sehari-hari dijalankan untuk mendukung penampilan prima.
Untuk sebagian dari
aktivitas lainnya ya digunakan untuk social climber. Baik online maupun
offline. Ini sebenarnya juga pengaruh dari berpenampilan prima. Mengarah ke
pertunjukkan.. buat apa punya penampilan prima kalau tidak untuk
dipertunjukkan. Hasilnya ya itu, social climber di kelompok-kelompok sosial
yang yang sebenarnya bukan untuk menjalin persamaan tapi ke perbedaan. Segala macam
yang trend harus segera di ikuti. Semua percakapan di media sosial harus
dipantau. Notifikasi dari medsos berbunyi layaknya jam detik. Gak ada
berhentinya
Permasalahan timbul
ketika si A tidak mampu menjalankan perannya menjadi seorang ibu dan istri. Apalagi
saya tahu suami dengan penghasilan saat ini agak kesulitan dalam memenuhi keinginan
dalam merawat, berdandan serta menjadi social climber. Keinginan semacam ini telah
menjadi semacam “candu” dimana si A kemudian tidak mampu lagi mengkontrol diri
sendiri. Dalam hal tertentu, saya cenderung melihat si A bahkan tidak mampu
menilai kemampuan diri sendiri. Apalagi menilai posisinya secara tanggung jawab
pribadi dan tanggung jawab sosial di masyarakat. Jangan tanya ya, mengenai
menjalankan kewajiban ya. Kalau menilai dirinya secara objektif saja tidak
mampu. Apapun tuntutan yang muncul untuk menjalankan tanggung jawab pribadi dan
tanggung jawab sosial di masyarakat di tutup dengan yang penting bisa
berpenampilan prima. Untuk usia yang tidak lagi remaja dan bahkan telah
menjalani pernikahan yang bukan pertamakali, si A tidak belajar akan bagaimana
menjalankan kewajibannya. Seolah-olah waktu yang berjalan telah berhenti dengan
keinginan berpenampilan prima.
Parahnya dalam runutan
waktu, si A bahkan mengacuhkan kenyataan akan posisinya yang diembannya saat ini.
Untuk pengakuan bahwa dirinya yang paling memiliki penampilan pria, si A tanpa
sadar menabrak etika moral. Si A merasa pengakuan akan penampilan prima yang
selama ini dimiliki tidaklah cukup dari suami. Mulailah kebutuhan pengakuan
beralih ke pemujaan. Inilah yang kemudian menjadi penyebab kegagalan pernikahan
pertama. Dan kalau tidak segera di atasi, jelas berpotensi menjadi penyebab
kegagalan pernikahan saat ini.
Fenomenanya serupa
dengan ibu tiri dalam cerita Putri Salju. Menghadap kaca, meminta pengakuan. Sampai
seorang pun tidak boleh lebih berpenampilan prima dibandingkan dirinya dan
bersedia melakukan cara apapun. Seluruh orang yang berada di sekitarnya diminta
untuk memuja. “Mirror..mirror in the wall. who's the fairest of them all?"
Apakah anda pernah
mengamati kondisi seseorang di sekitar anda yang mengalami kejadian serupa
dengan si A. Coba bantulah mereka dengan menyadarkan orang-orang di sekitarnya
bahwa kondisi Si A semacam ini membutuhkan bantuan. Bukan sesuatu yang wajar
dan harus dimaklumi. Kasihanilah si A. Berikan bantuan dengan tepat agar dapat mengingatkan
dan mengembalikan ke realitas, agar orang si A mampu mengemban tanggung jawab
yang dimiliki. Tentu saja untuk mendapatkan cara yang tepat, harus
berkonsultasi dengan orang yang berkemampuan. Selain itu, alihkan kecanduan
akan penampilan prima dengan berbagai kegiatan dengan tujuan mengaktualisasikan
diri dengan cara yang lebih bermanfaat.
Epley N1, Whitchurch E,
Mirror, mirror on the wall: enhancement
in self-recognition, Pers Soc Psychol Bull. 2008 Sep;34(9):1159-70.