ini bukan cerita mengenai lomba burung
bernyanyi..bukan. ini cerita pengalaman saya (atau bahkan jenengan2) ketemu
orang yang kesannya kalau apa-apa dibuat ajang persaingan. Pokoknya gak pernah
mau kalah...pasti pernah atau jangan-jangan sering.
ini contoh aja, saya punya kenalan yang kalau
ngomong apapun mengenai barang pasti berujung pengakuan kalau merek barang yang
dia pilih adalah terbaik. Gak ada tanding. dari HP sampe setrika. Sampe suatu
cerita dari cerita foto agak blur aja jadi berujung kalau kualitas kamera HP
punyanya (harus) paling bagus. Jadi kalau ada dia pasti gak bakal blur deh tuh
fotonya…berhubung dia sedang banyak acara dan gak bisa hadir jadi ya wajar
kalau temennya menikmati fotonya blur.
Terus ada lagi. Kalau yang ini saudara. Di suatu
ajang perkumpulan, berceritalah saudara. ini mengenai acara pernikahannya. Berkicaulah
saudara. mengenai acara mulai dari
hidangan sampe dekorasi pokoknya paling jos. Bayangin aja gimana gak wah…cerita
kalau hidangannya pake nasi ada tujuh macam.. Acara yang katanya lauk dari masakan
barat sampai antartika (es batu maksudnya) dihidangkan. Acara nikah anak
presiden aja kalah…Nah saya yang tahu sebenarnya sangat menyayangkan. Karena
cara saudara bercerita akhirnya berkesan menihilkan peran orang-orang di
sekitarnya yang sebenarnya lebih bekerja keras berkontribusi dalam acara itu…..
peran orang lain yang sebenarnya lebih besar dari dirinya. Berkesan tidak bersyukur
pula. Apa sih yang kurang dari acara itu sampe harus dipoles sedemikian heboh ??
Ada lagi nih…. teman ceritanya menempuh
pendidikan pilot di Afrika Selatan. Pendidikannya ini sebagai senjata tebar
pesona. Oke lah…hak dia ya. Apalagi calon pilot memang memikat ya. Tapi ini lo
ada yang janggal. Ada ketidakkonsistenan cerita yang membuat saya curiga. Ketika
saya menanyakan lebih lanjut sekarang sudah dapat sertifikasi keahlian apa. Karena
setahu saya pendidikan pilot itu nantinya punya beberapa sertifikasi keahlian. Tapi
jawabannya antah berantah. Dasarnya saya ini memang kepo, saya tanya lagi
kenapa ambil di Afrika...kenapa gak ambil di Filipina. Lagi-lagi jawabannya
antah berantah. Oke..ambil kesimpulan sendiri aja deh.
ya itu orang-orang seperti yang saya ceritakan
di atas seperti burung bernyanyi yang dikonteskan. sini berkicau sana berkicau
lebih rame. sini berkicau lagi sana lagi...lagi lebih rame. koyo manuk kontes.
ra rampung2. padahal ya sebenarnya apa to..gak semua perlu dijadikan ajang
persaingan.
Mau apa sih sampai apa-apa dikonteskan..tokh sebenarnya orang di sekitarnya sudah jengah dengan kicauan2 burung penyanyi ini. Lama-lama orang pasti tahu kondisi sebenarnya. Karena apa, ceritanya pasti tidak logis dan tidak konsisten. Akhirnya justru tidak dipercaya dan merugikan diri sendiri khan. Kontestan burung berkicau ini juga gak pernah sadar bahwa dirinya menyakiti orang-orang yang di sekitarnya. Kebiasaan kontestan untuk konsisten mengunggulkan dirinya pada akhirnya merendahkan orang-orang di sekitarnya.
Saya ini yo kadang-kadang iseng kalau pas menghadapi kontestan seperti inih. Beri aja kroto (telur semut yang memang diperuntukkan meningkatkan kualitas kicauan burung"....kasih saja pujian, kesan percaya . Dengarkan saja. Nanti pasti ada titik ketidakkonsistenan yang muncul dari ceritanya. Terus lama-lama dia jenuh sendiri atau mentok mau berkicau apa. Akhirnya nanti saya akan berkata "hebat ya"...biasanya si kontestan kapok sendiri. Ya kadang-kadang pake malu kalau yang masih punya. Mau coba ikut-ikut keisengan saya....boleh. asal sabar dan ndableg aja.
Sebenarnya sudah sifat natural seseorang untuk berkompetisi, bersaing. Namun harus dipahami bahwa kompetisi sebenarnya bukan di konteskan dalam kicauan. Persaingan dapat menjadi sumber motivasi/dorongan. Diiringi dengan kesadaran diri bahwa setiap orang memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing. Bersainglah dengan kekuatan sendiri. Ini menjadi persaingan sehat. Kalau sebatas masih dalam kicauan maka seseorang hanya mampu menciptakan ilusi bukan suatu kenyataan. Tidak ada pula proses menilai sendiri dengan objektif. Akhirnya memutuskan realitas. Padahal orang ini sebenarnya tidak mampu bersaing di satu hal namun memiliki kemampuan bersaing di hal lainnya.
Sebenarnya sudah sifat natural seseorang untuk berkompetisi, bersaing. Namun harus dipahami bahwa kompetisi sebenarnya bukan di konteskan dalam kicauan. Persaingan dapat menjadi sumber motivasi/dorongan. Diiringi dengan kesadaran diri bahwa setiap orang memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing. Bersainglah dengan kekuatan sendiri. Ini menjadi persaingan sehat. Kalau sebatas masih dalam kicauan maka seseorang hanya mampu menciptakan ilusi bukan suatu kenyataan. Tidak ada pula proses menilai sendiri dengan objektif. Akhirnya memutuskan realitas. Padahal orang ini sebenarnya tidak mampu bersaing di satu hal namun memiliki kemampuan bersaing di hal lainnya.