Minggu, 30 Oktober 2016

BIRD SINGING CONTEST



ini bukan cerita mengenai lomba burung bernyanyi..bukan. ini cerita pengalaman saya (atau bahkan jenengan2) ketemu orang yang kesannya kalau apa-apa dibuat ajang persaingan. Pokoknya gak pernah mau kalah...pasti pernah atau jangan-jangan sering.
ini contoh aja, saya punya kenalan yang kalau ngomong apapun mengenai barang pasti berujung pengakuan kalau merek barang yang dia pilih adalah terbaik. Gak ada tanding. dari HP sampe setrika. Sampe suatu cerita dari cerita foto agak blur aja jadi berujung kalau kualitas kamera HP punyanya (harus) paling bagus. Jadi kalau ada dia pasti gak bakal blur deh tuh fotonya…berhubung dia sedang banyak acara dan gak bisa hadir jadi ya wajar kalau temennya menikmati fotonya blur.
Terus ada lagi. Kalau yang ini saudara. Di suatu ajang perkumpulan, berceritalah saudara. ini mengenai acara pernikahannya. Berkicaulah saudara.  mengenai acara mulai dari hidangan sampe dekorasi pokoknya paling jos. Bayangin aja gimana gak wah…cerita kalau hidangannya pake nasi ada tujuh macam.. Acara yang katanya lauk dari masakan barat sampai antartika (es batu maksudnya) dihidangkan. Acara nikah anak presiden aja kalah…Nah saya yang tahu sebenarnya sangat menyayangkan. Karena cara saudara bercerita akhirnya berkesan menihilkan peran orang-orang di sekitarnya yang sebenarnya lebih bekerja keras berkontribusi dalam acara itu….. peran orang lain yang sebenarnya lebih besar dari dirinya. Berkesan tidak bersyukur pula. Apa sih yang kurang dari acara itu sampe harus dipoles sedemikian heboh ??
Ada lagi nih…. teman ceritanya menempuh pendidikan pilot di Afrika Selatan. Pendidikannya ini sebagai senjata tebar pesona. Oke lah…hak dia ya. Apalagi calon pilot memang memikat ya. Tapi ini lo ada yang janggal. Ada ketidakkonsistenan cerita yang membuat saya curiga. Ketika saya menanyakan lebih lanjut sekarang sudah dapat sertifikasi keahlian apa. Karena setahu saya pendidikan pilot itu nantinya punya beberapa sertifikasi keahlian. Tapi jawabannya antah berantah. Dasarnya saya ini memang kepo, saya tanya lagi kenapa ambil di Afrika...kenapa gak ambil di Filipina. Lagi-lagi jawabannya antah berantah. Oke..ambil kesimpulan sendiri aja deh.
ya itu orang-orang seperti yang saya ceritakan di atas seperti burung bernyanyi yang dikonteskan. sini berkicau sana berkicau lebih rame. sini berkicau lagi sana lagi...lagi lebih rame. koyo manuk kontes. ra rampung2. padahal ya sebenarnya apa to..gak semua perlu dijadikan ajang persaingan.

Mau apa sih sampai apa-apa dikonteskan..tokh sebenarnya orang di sekitarnya sudah jengah dengan kicauan2 burung penyanyi ini. Lama-lama orang pasti tahu kondisi sebenarnya. Karena apa, ceritanya pasti tidak logis dan tidak konsisten. Akhirnya justru tidak dipercaya dan merugikan diri sendiri khan. Kontestan burung berkicau ini juga gak pernah sadar bahwa dirinya menyakiti orang-orang yang di sekitarnya. Kebiasaan kontestan untuk konsisten mengunggulkan dirinya pada akhirnya merendahkan orang-orang di sekitarnya. 
Saya ini yo kadang-kadang iseng kalau pas menghadapi kontestan seperti inih. Beri aja kroto (telur semut yang memang diperuntukkan meningkatkan kualitas kicauan burung"....kasih saja pujian, kesan percaya . Dengarkan saja. Nanti pasti ada titik ketidakkonsistenan yang muncul dari ceritanya. Terus lama-lama  dia jenuh sendiri atau mentok mau berkicau apa. Akhirnya nanti saya akan berkata "hebat ya"...biasanya si kontestan kapok sendiri. Ya kadang-kadang pake malu kalau yang masih punya. Mau coba ikut-ikut keisengan saya....boleh. asal sabar dan ndableg aja. 
Sebenarnya sudah sifat natural seseorang untuk berkompetisi, bersaing. Namun harus dipahami bahwa kompetisi sebenarnya bukan di konteskan dalam kicauan. Persaingan dapat menjadi sumber motivasi/dorongan. Diiringi dengan kesadaran diri bahwa setiap orang memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing. Bersainglah dengan kekuatan sendiri. Ini menjadi persaingan sehat. Kalau sebatas masih dalam kicauan maka seseorang hanya mampu menciptakan ilusi bukan suatu kenyataan. Tidak ada pula proses menilai sendiri dengan objektif. Akhirnya memutuskan realitas. Padahal orang ini sebenarnya tidak mampu bersaing di satu hal namun memiliki kemampuan bersaing di hal lainnya.

Rabu, 20 April 2016

CERITA EYANG DI HARI KARTINI

Sepertinya kalau bulan April sudah menjadi tradisi banget ya, menjelang perayaan Kartini maka Ibu-Ibu yang ribet dengan persiapan baju daerah. Kadang buat diri sendiri. Kadang putra-putrinya. Kemudian diikuti dengan perayaan dengan menggunakan berbagai kostum baju daerah dan acara-acara seremonial.  Ada acara pawai, ada acara lomba berbagai kegiatan kewanitaan.

Tapi kalau saya, setiap peringatan Kartini beda lagi. Entah kenapa pasti keinget cerita Eyang. Eyang lahir kalau ndak salah akhir periode 1920an. Jadi Eyang besar pada tahun sesudah periode Kartini. Meskipun lahir dan besar setelah masa Kartini, namun Eyang merasakan betul bagaimana semangat Kartini merubah kehidupan perempuan saat itu. Masa transisi di mana perempuan dengan tradisi pingit masih berlangsung namun sebagian perempuan lain mulai diperbolehkan mengeyam sekolah (terutama sekolah keputrian).
Eyang bercerita bagaimana ibunda Eyang (Eyang buyut saya) yang tinggal di keputren harus “laku ndodok” hanya untuk menghadap suaminya. Entah hanya untuk menyampaikan kebutuhan atau menerima uang belanja. Tidak ada diskusi mengenai masalah perkembangan anak. Anak hanya urusan perempuan dan kalau anak laki-laki maka pada usia tertentu menjadi ursan sang suami. Gak ada tuh pakai acara duduk berdua di sore hari sambil minum teh. Apalagi jalan bergandengan berdua. Ndak ada sama sekali....kejadian luar biasa untuk bisa duduk berdampingan. Tanya kenapa? Sudah jadi tradisi bagi perempuan di lingkungan Eyang untuk melakukan tradisi itu dan kaum perempuan saat itu hanya meneruskan saja. Berbeda sekali dengan masa sekarang ya...dimana komunikasi keluarga berlangsung terbuka (dan memang harus terbuka), dimana kesejajaran istri dan suami menjadi diskusi. Bukan hanya berlangsung satu arah. Bagi yang pernah mendengarkan cerita semacam ini, menjadi luar biasa untuk dapat menikmati komunikasi suami istri yang dijalankan pada masa sekarang. Saya gak kebayang...harus jalan ndodok untuk bilang “ayahanda ini ada bbm dari klien. Mengingatkan deadline akhir bulan agar diselesaikan. Monggo saya sudah menyelesaikan proposalnya dan nanti ayahnda menyelesaikan pada bagian pengolahan data” atau “ayahnda mohon bantuan memasangkan tabung gas, berhubung gas sudah habis dan saya sedang memasakkan rendang kesukaan ayahnda”...oh No. Bukan saya banget deh.
Jadi aspirasi Kartini diantaranya membuka halangan dalam komunikasi keluarga sehingga istri disejajarkan dalam memberikan pendapat. Istri tidak hanya sebagai kaum pelaksana pekerjaan rumah tangga, semacam meletakkan buruh di bawah mandor. Pokoke...pokoke kudu rampung lo. Aishhhh.....
Nah, sekarang tolong ya bagi para Ibu-Ibu dihargai bagaimana cara berkomunikasi dengan suami. Dinikmati dengan syahdu bagaimana kebebasan duduk nge-Teh atau bergandengan dengan mesra di jaman sekarang. Disadari wahai para isri bahwa sebenarnya kelembutan perempuan itu senjata terbaik menghadapi suami , *****Ting. Begitu pula para suami yang harus bertemu dengan para istri tanpa harus melewati laku ndodok itu.....wis kebelet nunggu laku ndodok yang luar biasa lama itu bisa bikin buyar. Karenanya pada masa sekarang tolong juga dihargai, wahai para suami. Bahwa bisa  duduk berdua bisa mendengarkan  suara istri yang bisa dinikmati kapan saja itu sebenarnya kenikmatan. Nek rodo kmresek suaranya yo ndengerinnya sambil nginget jaman dlu bisa pegangan tangan pertama kali. Saling bisa berlaku lembut khan lebih mantep to.

Nah selain cerita Eyang di atas maka ada lagi cerita Eyang yang juga menginspirasi saya sampai sekarang. Kesediaan untuk belajar dan bersekolah. Jadi  pada masa Eyang, pendidikan adalah jasa langka dan mahal. Hanya dinikmati oleh segelintir kaum. Dibatasi tidak hanya oleh golongan ningrat dan priyayi namun diantara mereka sendiri masih berpikir bahwa dunia perempuan katut bapak dan kemudian katut suami. Eyang yang menempuh pendidikan sekolah keputrian dan selanjutnya sekolah keguruan....sempat mengalami tentangan baik dari Eyang Buyut Kakung maupun Eyang Buyut Putri. Tapi kok ya waktu itu, Eyang ngotot sekolah. Apalagi masa itu diperparah dengan masuknya Jepang. Eyang sekolah di CorJesu Malang. Memang sih, dibandingkan dengan saudara Eyang lainnya maka hanya Eyang putri saja anak perempuan yang bersekolah dan menjadi guru. Bahkan selanjutnya Eyang bisa menunjukkan antara karir (bahkan menjadi penilik TK dan SD se kecamatan saat itu) dan kehidupan rumah tangga bisa berdampingan. Demikian seterusnya, anak Eyang yang berjumlah 5 dan satu diantaranya adalah perempuan semuanya bisa sekolah sampai tingkatan Universitas (kebetulan semua menempuh pendidikan Teknik).
 Kata Eyang;  perempuan yang bersekolah bisa menggali potensi dirinya yang tidak hanya bermanfaat bagi dirinya, tapi juga untuk keluarga dan kalau bisa bahkan sampai tingkatan masyarakat. Memang kenyataannya, perempuan membutuhkan input untuk menyiapkan anak-anak mereka dalam pendidikan agar selalu dapat berkembang pada masanya. Misalkan saja kalau jaman sekarang adalah jaman internet, ya Ibu harus siap menggunakan internet supaya bisa memberikan cara bagaimana menggunakan internet sehat pada anak. Contoh lain, perempuan membutuhkan sekolah formal dan kemampuan belajar yang terus berkembang supaya mampu menginsipirasi anaknya untuk mampu belajar terus menerus. Makluk yang tidak mampu belajar sebenarnya makluk yang menutup dirinya dari perkembangan lingkungan. Dan, tahukah anda bahwa Kartini tidak hanya mengajarkan baca tulis tapi juga membatik dan ketrampilan perempuan lainnya. Karena Kartini tidak mengesampingkan bahwa kemampuan belajar hanya pendidikan formal namun Kartini justru membuka berbagai jenis ketrampilan apapun wajib dipelajari.  
Kalau saya, penerjemahan sekolah tidak hanya dilakukan secara formal namun dapat dilakukan secara informal. Kemampuan belajar tidak hanya menyangkut akademis namun juga harus dikembangkan dalam kemampuan ketrampilan sehari2. Masak, menjahit, berkebun, mendidik anak. Ketrampilan sehari-hari yang saya sebutkan sebenarnya bukan bagian dari insting yang muncul begitu saja tapi ketrampilan yang harus dipelajari. Prinsip “mengko lak iso dewe” pada masa sekarang jelas sudah tidak bisa diteruskan.
Sekarang bagi saya sendiri, inspirasi ini mendorong untuk terus sekolah meski tertatih-tatih karena kondisi tidak mendukung ya tetap dilakoni. Ada orang yang ngomong “kenapa di usia hampir 40 tahun masih mengejar sekolah.” La memang dikasih kesempatannya sekarang kok. Masih untung saya mau usaha tetap sekolah saat dikasih kesempatan saat sekarang. Nek mandeg, apa saya ndak menolak rejeki.

Melalui cerita Eyang, saya menjadi paham mengapa Kartini menjadi inspirasi bagi perempuan masa itu. Visi ke depan Kartini adalah mengenai bagaimana menggerakkan pikiran perempuan masa itu yang masih terbelenggu tradisi sehingga perlu ditingkatkannya kesadaran bahwa perempuan memiliki posisi penting dan unik. Dikembangkannya kemampuannya perempuan untuk terus belajar dapat merubah dimensi kehidupan generasi seterusnya. Bahkan kesadaran ini masih relevan hingga masa sekarang sampai pada generasi kita dan seterusnya pada anak cucu kita. Itulah Kartini yang mampu menjadi perempuan yang menentang arus. Berdiri diantara cercaan dan tentangan tradisi. Dimana tidak semua orang bahkan tahan. Kadang hanya untuk mendengarkan kritikan yang bisa jadi membangun saja mampu membuat kita masih uring-uringan...apalagi mampu meneguhkan hati untuk mengetahui apa yang seharusnya dan meneruskan dalam berbagai pertentangan
Generasi kita ini yang telah menikmati berbagai kemudahan hasil dari inspirasi itu kadang lupa, bahwa kemudahan itu bukan hasil dari proses yang mudah. Menjadi terlena dan kemudian mandeg. Bukan pula logika biner ketika perempuan yang memiliki karir maka tidak mampu menjadi ibu yang berperan maksimal dalam mendidik anaknya. Itu bukan pertanyaan yang hanya bisa di jawab Yes or No. Ada kata maybe, if, must dan lain-lain. Tokh kesempatan bekerja di masa sekarang membuka peluang tak perlu meninggalkan rumah. Tapi kalau sekiranya memang harus memilih salah satu maka pilihlah dengan bangga. Semuanya sudah melewati pertimbangan masak dan semuanya memang untuk yang terbaik untuk anda dan ana-anak.

 Semoga di hari Kartini, kita bisa terbangun membawa inspirasi Kartini ke generasi selanjutnya. Selamat Hari Kartini untuk seluruh perempuan Indonesia.