Jumat, 17 Juni 2011

NYAMAN MENJADI DIRI SENDIRI (1)

Hmmm….muncul satu lagi status hari ini yang isinya “Be Your Self”. Kemaren ada juga status yang “Aku menjadi diriku.” Di saat lain muncul kata-kata hidup kok nurutin orang lain. Tanpa bermaksud menghakimi, pada suatu waktu, kata-kata seperti ini ternyata seringkali menjadi apologi yang baik bagi individu untuk mencuekkan diri terhadap ketidakmampuan mereka dalam mengenali diri sendiri. Jadi saya bingung, mereka itu menjadi diri sendiri atau mencoba mengisolasi diri sendiri ???? Sekedar mengukuhkan bahwa mereka sebenarnya tidak mau taat peraturan (bahasa pedes dan nyelekit adalah apologi bagi keadaan atas ketidakmauan mereka untuk berjuang lebih baik padahal mampu dan mendengarkan masukan yang sebenarnya membangun pribadi lebih baik).
Suatu waktu, kita juga pernah menemui seseorang yang seolah-olah memiliki kepribadian sangat berbeda jika berada di depan masyarakat dan di depan keluarga. Seolah-olah mereka membuat kepompong untuk membungkus kepribadian sesungguhnya. Mencoba menyukai sesuatu yang sebenarnya bukan menjadi ketertarikan diri sendiri hanya untuk menjadi syarat supaya diterima dalam komunitas tertentu. Anda sebutkan saja...pasti banyak sekali contoh-contoh dalam kehidupan masyarakat yang senada dengan contoh-contoh di atas. Senada dengan peristiwa yang menunjukkan bahwa menjadi diri sendiri justru tidak mendatangkan ketidaknyamanan.
Sebenarnya kalau kita benar-benar mau melihat peristiwa di atas, bukan disebabkan oleh  individu-individu yang tidak mengenal kepribadiannya. Permasalahannya adalah mereka tidak mau mengakui apa adanya karakter diri sendiri. Karakter merupakan sifat yang melekat pada diri sendiri. Selama pengalaman hidup kita, karakter tersebut akan terbentuk. Karakter juga sering diartikan atau dihubungkan dengan ciri tertentu yang menonjol pada diri. Jadi dapat dikatakan apa yang menjadi diri sendiri adalah gabungan beberapa sifat yang melekat dan identik.
 Dalam perjalanan hidup seseorang, karakter sebenarnya merupakan interaksi id, ego, dan super ego. Dalam hal ini, Id (das-es) merupakan sistem Karakter yang paling dasar, sistem yang di dalamnya terdapat naluri-naluni bawaan. Id adalah sistem yang bertindak sebagai penyedia atau penyalur energi yang dibutuhkan sistem-sistem tersebut untuk operasi atau kegiatan yang dilakukannya. Ego adalah sistem yang bertindak sebagai pengarah individu pada dunia objek dan kenyataan dan menjalankan fungsinya berdasarkan isi kenyataan. Super-ego adalah sistem karakter yang berisi penilaian secara universal dan aturan yang sifatnya evaluatif (menyangkut baik dan buruk). Dalam bahasa sehari-hari konsep tersebut menunjukkan bahwa dalam perkembangan, manusia akan memiliki sifat-sifat bawaan yang kemudian di pilih dan dikembangkan sesuai denga cara pandang (persepsi) mereka ketika menjalankan kehidupan.
Selanjutnya karakter tersebut dalam kehidupan sehari-hari akan mempengaruhi tingkah laku. Tingkah laku merupakan implementasi yang dilakukan seseorang dalam kehidupannya. Tindakan yang dilakukan seorang individu tidak lain merupakan hasil dan konflik dan rekonsiliasi ketiga unsur dalam sistem karakter tersebut. Tingkah itu kadang-kadang kelihatan (overt) dan kadang-kadang tidak kelihatan (covert). Nah dari sinilah muncul kata-kata jaim alias jaga image. Di depan orang melakukan apa…nanti kalau di belakangnya kemudian melakukan sesuatu yang sangat berbeda.
Umumnya pada masa kanak-kanak dan masa remaja merupakan masa pembentukan karakter karena pada masa inilah individu belajar dari lingkungan dan kemudian memilih mana yang paling sesuai dengan dirinya melalui pandangan hidup (persepsi). Untuk selanjutnya ketika masa dewasa, sifat-sifat tersebut akan menetap dan kemudian menjadi yang disebut sebagai karakter. Jadi sebenarnya wajar juga kalau melihat anak remaja atau anak-anak yang masih labil sehingga dengan mudahnya mereka meniru sosok yang diidolakan (kata mas Sasongko masa perkembangan gundah dan galau). Kalau jaman kanak-kanak mungkin mereka hanya meniru orang-orang terdekat (ayah atau ibu), nah kalau sudah remaja maka mereka akan mulai menirukan sosok-sosok dari lingkungan yang lebih luas. Jadi jangan heran kalau melihat anak remaja yang menangis di depan sosok idola atau bahkan dulu saat kita masih remaja juga berbuat sama. Masa tersebut merupakan masa pencarian.
 Di sisi lain sebenarnya dalam masa seperti remaja dan kanak-kanak juga penting diperhatikan, sosok siapa yang akan mereka idolakan. Dengan demikian dapat membantu mereka dalam memahami nilai-nilai baik. Oleh karenanya, contoh yang baik merupakan pembelajaran terbaik dan termudah yang dapat segera masuk dalam input perkembangan mereka. he..he padahal untuk menjadi contoh yang baik justru hal paling sulit yang dilakukan oleh orang tua atau sosok pembelajar lain.
Bagaimana seandainya kalau perkembangan di masa kanak-kanak dan remaja tersebut mengalami hambatan. Individu yang mengalami hambatan dalam pencarian ketika masa remaja dan kanak-kanak maka memunculkan sosok dewasa tanpa nilai-nilai yang dianggap sebagai benar menurutnya. Masa dewasa yang seharusnya memiliki karakter mantap sebagai pengakuan serta pandangan atas dirinya masih saja dilanjutkan menjadi masa pencarian. Selanjutnya individu tersebut tidak dapat mengaktualisasikan diri karena tidak mampu memberikan kebermanfaatan terhadap diri sendiri dan orang lain. Konsep karakter dengan memasukkan kebermanfaatan seperti ini penting dikarenakan masa dewasa merupakan masa penilaian atas sumbangan yang dapat diberikan individu terhadap dirinya dan lingkungan. Orang dewasa sesungguhnya harus memiliki posisi di kehidupan social berdasarkan peran yang mereka dapat lakukan. Kalau bahasa anak sekarang adalah orang ngeksis…jadi punya tempat dalam lingkungan mereka.
Dengan demikian orang yang mampu menjadi dirinya sendiri secara adaptif mampu menyelesaikan berbagai konflik dalam kehidupan.  Kalau menggunakan istilahnya Pak Mario Teguh, orang dengan karakter diri sendiri memiliki bawaan lebih sedikit. Jadi lebih ringan dalam menempuh perjalanan. Tidak terbebani untuk menunjukkan eksistensi diri dengan status yang tidak penting dan pikiran yang tidak perlu. Mereka akan selalu merasa yakin untuk menyelesaikan dengan apa yang telah dimiliki. Mandiri dalam memperhitungkan pilihan dengan menimbang resiko sekaligus konsekuen dengan apa yang mereka telah pilih. Pada akhirnya dapat mengambil peran dengan tepat di kehidupan masyarakat. Hal inilah yang saya sebut dengan nyaman menjadi diri sendiri karena merasa bahwa apa yang telah dimiliki (karakter) akan selalu mampu menghadapi berbagai persoalan. Mengambil hikmah dari suatu peristiwa yang telah berlalu. Tanpa harus berpura-pura menjadi orang lain (karakter lain). Mereka yang nyaman dengan diri sendiri selalu pribadi berkembang karena mampu adaptif dalam segala situasi.
Jadi sebenarnya menjadi diri sendiri bukan menjadi alasan yang membuat seseorang tidak memperhatikan sekelilingnya. Tidak memperhatikan pendapat orang lain. Tidak memperhatikan apakah dirinya mengganggu orang lain. Bukan juga menjadi alasan apabila seseorang kemudian melakukan pemberontakan terhadap suatu nilai-nilai tanpa mendasarkan pada usaha menciptakan kebermanfaatan yang lebih bak. Kejadian sepert ini juga membuat saya bingung. Di saat dirinya belum memantapkan diri tapi sudah mencoba membuat rebellion. Bukankah, kita dapat mengatakan nilai itu buruk kalau sudah memiliki nilai-nilai yang lebih baik. Kemudian nilai-nilai baik ini dapat dijadikan suatu dasar pertimbangan dalam mengambil solusi terbaik. So, rebels to what ?? Ya….kalau pemberontakan semacam itu datang orang yang justru tidak memiliki karakter maka pada akhirnya membuat kondisi makin buruk karena tidak mendatangkan solusi lebih baik.
Semoga, kita menjadi pribadi yang menyenangkan untuk diri sendiri dan orang lain. 

Minggu, 05 Juni 2011

GAK MAU JADI KATAK DALAM TEMPURUNG

Dulu..dulu sekali waktu saya kecil, sering bermimpi saya nantinya jadi apa ya, gimana dengan perjalanan hidup yang dilewati. Selalu saja bertanya ke diri sendiri, mampukah melewati itu semua. Bahkan ketika melewati moment pernikahan pun, saya pernah merasa ketakutan. Di saat orang lain mungkin merasakan kebahagiaan luar biasa. Melewati ceremony yang dirayakan luar biasa. Bertemu dengan orang yang nantinya (insyaallah) akan berbagi dalam separuh lebih waktu kehidupan. Berbeda dengan yang dirasakan oleh orang lain, saya justru mengalami berbagai ketakutan. Maklum...saya melewati hal yang membuat diri menginterprestasikan perkawinan merupakan sesuatu yang sangat berat. Dalam perjalanan hidup, saya belum pernah melihat contoh baik sebuah perkawinan. Akhirnya saya menjadi ketakutan apakah mampu menjadi orangtua yang baik untuk anak-anak. Apakah saya akan menjadi orangtua yang menjadi contoh baik bagi anak-anak. Menghidupi mereka dengan baik. Ketakutan tersebut semakin memuncak saat kehamilan pertama. Saya sangat bersyukur cuma tetap saja rasa takut tersebut makin menguat.

Kenyataannya, dalam perjalanan hidup, saya justru belajar bahwa ketakutan adalah pembatas paling besar dalam hidup. Iya, itu namanya ketakutan apabila kita mengkhawatirkan segala sesuatu tapi tidak membuat kita berusaha untuk berbuat sesuatu yang lebih baik. Hal inilah yang membuat saya harus merasa bangkit. Merasa dalam perjalanan hidup telah mendatangkan batasan, membuat saya justru tidak mendatangkan lebih banyak batasan dalam hidup. Apapun yang terjadi tetep harus berusaha bangkit untuk mengatasi batasan tersebut. Saya ingin membuktikan mampu. Membuktikan untuk diri sendiri, saya mampu. Iya, pembuktian itu hanya untuk diri sendiri saja.

Mengapa pembuktian diri sendiri saja? Ibaratnya, saya tidak mau menjadi orang yang berjalan menuju sinar terang. Sinarnya akan terlalu silau untuk saya lihat sendiri bahkan justru membutakan mata hati. Dimana di sekeliling telah berbuat lebih namun saya tidak mampu melihat dan mengambil hikmahnya. Biarkan sinarnya mendekap dalam hati saja. Tokh bagaimanapun cahaya tersebut akan tetap bersinar meskipun hanya dalam hati. Kenyataannya sinar yang di dekap dalam hati justru lebih membuat bermanfaat. Bermanfaat menerangi jalan yang akan ditempuh tanpa membuat silau seperti halnya kalau sinar itu keluar dari hati. (Ha..ha puitis banget Bu…)

Demikian pula pengalaman ketika bekerja. Pekerjaan yang telah saya jalani selama hampir 6 tahun telah mempertemukan dengan berbagai orang dari berbagai karakteristik. Dari berbagai latar belakang. Dari sebagian para bimbingan tersebut membuat saya melihat bagaimana orang yang membatasi dirinya justru membuat dirinya berkembang menjadi pribadi penuh negatif.
Saya mengalami sendiri teramat susah untuk membimbing klien yang memulai bimbingan dengan meletakkan tangan di atas dahi dan berkata “aduh, mbak. Sulit sekali. Saya pusing”. Itu padahal berlangsung pada awal bimbingan. Belum juga menghadapi apapun. Kemudian membuat seribu alasan atas ketidakmauan mereka untuk mencoba. Kalau bertemu dengan klien dengan karakteristik seperti ini dipastikan saya mesti bersusah payah untuk membantu dirinya. Bisa anda bayangkan bagaimana membimbing orang yang telah membatasi dirinya pada awal bimbingan....
Pada proses selanjutnya ketika berhadapan dengan klien dengan karakter membatasi diri ini adalah merasa bahwa tugas akhir yang dijalankan bukan kewajiban mereka. Saya pasti akan kesulitan untuk membangkitkan rasa bahwa proses ini adalah memang untuk keuntungan mereka. Jadi mereka harus mengambil bagian. Minimal dengan belajar dengan baik. Mereka pun harus menyadari bahwa saya hanya menjadi seorang dari beberapa unsur yang membantu namun sebagian besar terletak pada kemampuan dia. Kesulitan kedua dari orang yang sudah meletakkan batasan di awal adalah tidak pernah menghargai pekerjaan apapun yang dilakukan oleh orang yang sudah membantu mereka. Pokoknya tahu bayar dan semua terselesaikan. Kenyataannya, tugas akhir juga berkaitan dengan pengembangan karakteristik. Tidak mau bersusah payah. Seolah-olah mereka hanya menjadi tukang pos. Jangan tanya bagaimana ketika mereka harus menghadapi ujian akhir. Ketika ada kesulitan sedikit maka yang dilakukan hanya menyalahkan orang.
Ketiga, input apapun yang dimasukkan sepertinya susah sekali untuk masuk. Bagaimana mau masuk dalam pikiran, sedangkan mereka hanya berkutat pada adanya "aku" saja. Rugi khan...membayar saya sebagai konsultan tapi gak dapat input apapun.

Oleh karenanya satu hal yang menjadi kesamaan ketika memulai proses bimbingan adalah meyakinkan orang bahwa dirinya mampu.

Berbeda halnya ketika saya berhadapan dengan orang-orang yang mungkin awalnya sudah mencoba atau minimal keinginan untuk mencoba. Dilengkapi dengan karakteristik tersebut maka mereka lebih mudah untuk termotivasi. Mereka mampu untuk mengembangkan kapasitas untuk kemudian mengatasi berbagai kesulitan bersama-sama. Di akhir proses, mereka akan mendapatkan sebuah pelajaran baru. Tidak hanya dalam bidang keilmuan namun karakteristik pribadi yang berkembang pula.  Mereka belajar untuk menghargai apa yang disebut dengan proses.

Pengalaman bertemu dengan orang-orang yang telah membatasi dirinya menunjukkan bahwa sepertinya orang yang sudah membatasi dirinya itu kok ya seiring dengan lamanya waktu pada akhirnya menjadi orang justru tidak menghargai orang lain. Mungkin sama-lah seperti yang saya ibaratkan dalam sinar yang terlalu terang di atas. Hanya mampu melihat diri sendiri dan tidak melihat di sekitarnya telah berbuat lebih. Mereka juga kemudian tidak mampu menghargai hal-hal di luar lingkungan. Menjadikan indicator yang mereka miliki menjadi satu-satunya penilaian mutlak. Lihat baju ya merek…liat kemampuan ya dari singkatan yang berjejer di depan dan di belakang nama. Begitulah....

Sekedar berbagi cerita saja. Beberapa kali saya pernah mengalami konflik dengan orang semacam ini. Maaf, ada orang yang menjunjung tinggi bahwa pekerjaan adalah pulang dan pagi dengan berseragam menganggap pekerjaan yang saya jalani bukan termasuk jenis pekerjaan yang mendatangkan penghasilan yang cukup. Saya menjadi seorang wiraswastawan karena pilihan bukannya tidak ada tawaran pekerjaan alias tidak laku. Ada beberapa pertimbangan yang membuat menjatuhkan pilihan bahwa wiraswasta bagi saya lebih cocok. Cocok dalam pendapatan, cocok dalam membagi waktu dan cocok dengan karakter pribadi. Beberapa kali saya bertemu dengan orang yang menyamakan indicator yang mereka miliki. Kerja itu ya baju rapi dengan berangkat dan pulang jam sekian. Kalau kantor itu yang ada papan namanya dan jumlah karyawan sekian. He…he. Padahal itu gak berlaku dengan jenis pekerjaan saya. At the end pernah saya dibilang partikelir. What’s  the meaning of partikelir..???? tong…ting…teng….

Dari beberapa pengalaman hidup tersebut memunculkan karakter saya yang baru yaitu pengennya coba-coba. Pengen belajar itu, pengen belajar ini. Mau melakukan itu dan melakukan ini. Pada akhirnya yang bisa membatasi adalah kondisi dan situasi. Bukannya kemauan.

Keinginan utama saya adalah maunya sama anak-anak nantinya akan mengadakan perjalanan keliling dunia….someday. Minimal keliling Indonesia. Saya ingin anak-anak belajar langsung dari pengalaman mereka untuk melihat, mendengar dan merasakan bahwa Allah menciptakan banyak keanekaragaman yang sepatutnya untuk di syukuri dan bukannya menjadi penghalang satu sama lain (atau justru menjadi sesuatu yang disamaratakan). Amiennn...

Tapi tetep saja, dalam perjalanan ada rasa suntuk juga. Kalau dah gini rasanya lemes. Mau kerjain apa-apa semua jadi gak beres. Kalau dulu bisa kerjain segala macam dalam waktu sekian….sekarang jadinya molor. Akhirnya saya kemudian tergantung pada beberapa pembangkit motivasi. Hal pertama dan paling besar untuk memotivasi dalam kehidupan ya..karena kehadiran anak-anak. Bahkan ketika mereka belum hadir dalam kehidupan saya. Jauh..jauh sekali. Saya berpikir kalau mereka menjalani seperti apa yang telah dilewati, betapa saya kecewa. Tidak mampu membuat kondisi lebih baik. Itulah yang membuat saya bertahan dalam kondisi paling sulit. Ketika waktunya menguji kewarasan.

Kedua, saya kecanduan rasa puas ketika mampu melewati sesuatu. Anda pasti pernah merasakan bagaimana rasa itu. Mencoba sampai titik rasa menyerah menyerbu tapi disaat terbaik, Allah memberikan jalan tersebut. Merasakan kepuasan sekaligus membuat kita merasa sangat kecil. Apalah kita kalau tanpa pertolongan-Mu. Rasa seperti itu-lah yang membuat saya kecanduan. Pengen dan pengen lagi. Membuat merasakan hal yang sama.

Karenanya, kalau ditanya memang sudah membuktikan apa dalam hidup; saya tidak akan mampu menunjukkan apapun. Kecuali satu hal, mengatasi rasa takut untuk tetap terus bergerak menjadi baik. Tidak menjadi katak dalam tempurung yang mencipatakan banyak batasan dalam hidup. Mengatasinya berkali-kali untuk tetap maju. Di saat apapun. Saya tidak mau menjadi katak dalam tempurung. 

Jumat, 03 Juni 2011

MY HOBBIES

Ada beberapa hobi saya yang ternyata tetap konsisten dipelihara sampe sekarang. Dari jaman kecil sampe sekarang punya anak kecil. Kalau dilihat sebenarnya hobinya sih biasa-biasa saja. Gak keluar budget banyak, malah kalau memasak juga jadi bagian dari kegiatan sehari-hari. Nyatanya sih yang  dari hobi-hobi tersebut tidak hanya mendatangkan kesenangan namun diantaranya menjadi pendukung dalam pekerjaan saat ini. membuat berkenalan dengan hal-hal baru. Ternyata juga membantu untuk mengembangkan berbagai kemampuan baru..Inilah hobi-hobi saya

Hobi pertama adalah membaca. Iya, saya sangat senang membaca. Dari komik (sampe sekarang  masih saja hobi baca komik), novel sampai buku teks alias buku untuk rujukan referensi penelitian. Tema-nya juga macem-macem. Apapun kalau memang sedang tertarik atau membutuhkan, ya di baca. Prinsip saya, ilmu ada dalam semua bentuk buku. Entah dalam komik yang mungkin dianggap sebagai bacaan orang gak serius dan gak bermanfaat, hanya membuang waktu. Kenyataannya gak juga. Semua itu sebenarnya tergantung pada orang bisa mengambil ilmunya saja. Jadi tidak menyalahkan medianya. He…he…Ada lo komik yang isinya ternyata belajar mengenai sejarah pergantian kepemimpinan di Jepang. Atau baru tahu bahwa di jaman dahulu, lilin merupakan barang mahal sehingga para penulis besar jaman dahulu pun ternyata seringkali menumpang menulis di kafe jalanan. 

Saya senang membaca berbagai buku karena orangnya memang senang kenal ilmu baru alias seneng coba-coba. Terakhir, pengennya belajar jadi profiler alias tebak personal dari penampilan tapi sampe saat ini belum nemu buku yang tepat (Any recommended ?).  Mungkin ke depannya mau belajar ilmu bahasa asing..amien.
Sekarang hobi membaca saya mulai bergeser tidak hanya membaca dalam bentuk buku teks namun juga googling. Jadi kalau ada waktu iseng dan kebetulan gak bawa buku, saya mulai deh browsing melalui HP. Apa saja sekarang bisa dicari melalu mbah goggle. Istilah asing yang saya mulanya gak ngerti, cukup diketikkan sebagai kata kunci dan….Walah keluar deh berbagai informasi.
Pekerjaan saya yang berhubungan dengan tulis menulis ilmiah juga mengharuskan membaca banyak buku. Itulah mengapa saya sebenarnya senang dengan pekerjaan tersebut. Terkecuali stress saat harus menghadapi karakter si klien yang terkadang tidak menghargai proses, saya sebenarnya sangat menikmati pekerjaan tersebut. Membuat saya mengenal berbagai ilmu (jadi tidak hanya terpatok pada sekolah formal) dan terutama mengharuskan untuk banyak membaca.

 Saking senengnya membaca, dlu waktu jaman susah bercita-cita untuk membuat perpustakaan keluarga. (sssttt…..sekrang sih sebenarnya masih jaman susah. Cuma sudah agak beranjak sedikiiiiiitttt. Alhamdulillah. Minimal untuk membelikan susu popok anak-anak sudah tidak khawatir)  Sekarang koleksi buku tersebut sudah ada 6 rak. Itu juga belum yang hilang atau tersimpan dalam boks. Nantinya buku itu untuk mendampingi anak-anak saya untuk tumbuh kembang sekaligus investasi bagi mereka.
Kalau melihat riwayat ketika masa kecil, saya bisa membaca itu termasuk terhitung yang telat…baru bisa membaca ketika sudah memasuki kelas 2 SD. Setelah dewasa dan mulai mencari tahu sendiri, ternyata saya mempunyai disleksia ringan..ya agak kesulitan untuk mengeja. Sampai sekarang, saya kesulitan untuk membedakan dan berkata kanan-kiri, ubi jalar-singkong, Maradonna dan Madonna, India dan Indian, Italia-Spanyol. Bukan berarti gak tahu lo…saya tahu itu tapi kalau pas ngomong kok keluarnya lain ya. 
Nah dari bisa membaca itulah, saya jadi kaya orang kecanduan. Segala macam di baca. Bahkan waktu kelas empat SD, saya sudah membaca catatan pinggir-nya Goenawan Moehamad dan Garis-Garis Besar Sejarah Amerika. Bukan karena saya anak pintar lo…tapi karena di rumah kurang mencukupi kebutuhan untuk membaca.Ckkk… Jadi apa adanya ya saya baca. Ha...ha kasian ya. Buku untuk anak dulu khan sangat terbatas, tidak seperti sekrang. Saya sangat bersyukur untuk tumbuh kembang anak sekarang sudah berbeda. Tema bukunya bagus-bagus. Selain itu juga ada buku bantal, buku sentuh, buku lipat, dan bahkan buku bisa membaca sendiri. Tinggal sentuh. Belajar dari itu, selain menumbuhkan minat anak-anak saya untuk membaca, ya disediakan berbagai bacaan di rumah sesuai dengan tahapan perkembangan. Seimbang...

Hobi saya yang kedua adalah kuliner. Ketahuan khan dari perubahan bentuk tubuh. Ha..ha…ha….Tidak hanya mencicipi masakan khas di suatu daerah namun saya juga senang memasak.
Bagi saya, memasak itu bukan hanya karena kewajiban sebagai seorang ibu rumah tangga. Tapi juga sebuah kesenangan. Mencoba resep baru dan kemudian diterima dengan baikoleh si korban percobaan saya (ya itu, pakne). Di keluarga besar, bahkan para pakdhe-pakdhe pun mahir masak. Kalo Pakdhe Tris jagonya bikin seafood, Pakdhe Mono (alm) sukanya bikin kaldu ayam kampung yang mak nyuss…Mereka gak mandang tuh kalau masak cuma porsinya perempuan. Mereka masak ya karena suka. Kalau suami saya sih sudah pernah mencoba dan hasilnya, hiks... Ceritanya si ayah masak sayur asem kok rasanya mirip kolak….(maaf ya Yah)
Kegiatan memasak itu juga gak hanya sekedar memasukkan bahan tapi juga membutuhkan mood yang baik. Membutuhkan pula upaya untuk mempelajari karakter orang yang akan memakan masakan kita sehingga nantinya mereka dapat menerima dengan baik. 
Untuk urusan di rumah jelas jadi pelanggan utama masakan saya adalah anak-anak. Namanya juga anak-anak seringnya maunya beda-beda…jadi saya harus menyesuaiakan dengan kondisi tubuh dan maunya mereka. Kalau lagi sakit, saya kemudian membuatkan makanan yang sekiranya Denia dan Qila mau memakan namun juga membuat tubuh mereka cepat sembuh. Pintar-pintarnya saya yang memasak bu..dikreasi. Alhamdulillah, Denia dan Qila sangat senang kalau saya masakkan meskipun sedang sakit.
Demikian pula kalau ada tamu yang berkunjung, saya akan memperkirakan kira-kira mereka maunya makan apa ya…cuacanya gimana ya…Kalaupun saya gak masak sendiri dan mengajak mereka makan di luar pun, hal yang sama dilakukan. Menebak karakter dan kemudian memperkirakan gimana ya kondisi saat itu.
Bukan sok nge-chef atau perfeksionis. Cuma bagi saya, mendatangkan suatu kebahagiaan kalau masakan tersebut dapat memberikan kebahagiaan tidak hanya rasa kenyang.

Hobi yang ketiga adalah nonton film..pernah lo saking saya gila nonton film, sehari langsung nonton dua kali. Pulangnya langsung tepar…
Hobi saya ini ternyata sama dengan suami. Jadi selain membaca buku, kami sangat senang untuk menonton film. Semua film kami suka  tapi untuk pilihan tema film tetep beda. Suami saya sangat tidak suka nonton film horror atau ada adegan yang mengejutkan. Katanya mending beneran lewat kuburan daripada nonton film horror. Seramnya di kenyataan tidak sehebat kalau nonton horror. Jadinya saya juga hampir gak pernah nonton film horror. Suami saya sih lebih suka nonton film komedi (terutama Stephen Chow. Forever…ketularan Kang Antok). Kalau saya sukanya film yang ada muatan sejarah.
Sama halnya dengan membaca buku, saya gak pernah membatasi dan mengatakan bahwa film hanya untuk kesenangan. Sebenarnya ilmu atau manfaat apapun bisa diambil bahkan dalam bentuk berbagai film atau buku. Dari film, saya kemudian tahu bagaimana kondisi masyarakat Afghanistan ketika mas kawin menjadi barang sangat mahal berimbas pada tingkat kejahatan seksual anak-anak laki di bawah umur (film Kite Runner). Ada sastrawan yang memulai teater sebagai penggambaran kehidupan baik dari latar, tema maupun konflik yang dibangun di wilayah Spanyol (film Lope). Jadi tahu bagaimana berdebat seharusnya dilakukan (the Great Debaters). Atau hanya sekedar tertawa melihat Stephen Chow dan Ng Ma berbuat konyol.
Jadi sebenarnya sedih juga sekarang gak ada film impor yang branded (film Holywood)..he..he. tapi di kondisi ini saya juga melihat ternyata ada film yang justru gak branded tapi bagus. Sekarang saya jadi mulai melirik film Spanyol, Swedia (The Girl with Dragon Tatoo series) dan Perancis. Ternyata malah lebih bagus dari film branded. Untuk film Indonesia, saya suka film Merantau dan Sang Pencerah. Untuk Sang Pencerah, kami sudah nonton 5 kali tapi masih saja nangis saat adegan langgarnya Kyai Dahlan di rubuhkan. Iya kami menangin karena ternyata cerita di film tersebut sesuai dengan keadaan kami saat ini. Untuk beristiqomah itu sangat berat. Demikian pula untuk menjaga hati supaya tidak sombong dll...Di film Sang Pencerah, dikisahkan bagaimana Kya melewati perjuangannya yang sangat berat, sedangkan kami baru sepersekian dari perjuangan itu


Itulah tiga hobi saya saat ini. Iya untuk saat ini…karena sebenarnya ada hobi saya yang lain travelling. Tapi untuk yang saat ini terpaksa dipendam dulu. Nanti kalau anak-anak sudah bisa diajak, kami (saya dan suami) akan melanjutkan berpetualang. Itulah salah satu kesamaan hobi antara suami dan saya. Dulu kami sama-sama suka berpetualang. Naik ke puncak Gunung Merbabu dan menjelajah kawasan lereng gunung Merbabu dari wilayah Boyolali sampai Temanggung tembus ke Kopeng (Salatiga). 


Jadi kalau anda tanyakan hobi apakah yang sedang di sukai dalam sekian tahun ke depan, ya itu bisa saja berubah. Ya itu, saya orangnya suka coba-coba...he...he