Senin, 05 Oktober 2015

Pengalaman Pergi ke Psikolog

Ini cerita pengalaman ayah dan mbu beberapa kali berkonsultasi dengan psikolog anak. Sekedar berbagi. 

Pengalaman pertama kali berkenalan dengan psikolog adalah ketika mbak D menjadi salah satu subjek obsevasi perkembangan anak. Mbak D punya kekurangan dalam motoris halus dan kemudian diberikan perlakuan taktil play.  Hasil evaluasi menunjukkan adanya pengaruh terhadap perkembangan motoris halus. Lain itu mbak denia juga diberikan test binet. Sayangnya karena mbak yang menguji tidak memberikan hasil secara tertulis hanya lisan membuat informasi tidak tersampaikan. (Ini catatan buat mbak-mbak yang ambil profesi psikolog, minimal berikan saja laporan lengkap secara tertulis kalau tidak sempat bertatap muka dengan mantan subjek . sebagai bentuk penghargaan. Bukan dengan tanda mata saja lo). Akhirnya sedikit sekali informasi hasil binnet, Cuma sempat disampaikan oleh mbaknya kemampuan logika dan verbal mbak D dua tingkat di atas usianya. Sayang khan..akhirnya kami gak bisa ikut turut mengambil manfaat dari tes yang dilakukan oleh mbak D.

Nah, dalam perjalanan ketika mbak D masuk SD ada peristiwa tidak menyenangkan yang harus dialami di sekolah.  Perubahan mood dan perubahan interaksi dengan adik dan temen membuat mbu mengalami kecurigaan. Setelah perjalanan panjang dengan peristiwa bujuk membujuk, akhirnya saya tahu mbak D mengalami pembedaan dengan beberapa teman sekelas. Misalkan dengan sebutan “kamu, bukan temanku”. Terakhir kejadian makin meningkat...mulai dari dikunci di kamar mandi, bola yang ditendang dan mengenai dada secara sengaja, dan di dorong hingga jatuh. Untuk mengkonfirmasi kecurigaan saya, akhirnya mencoba berkonsultasi ke psikolog. Jadi ini adalah yang kedua kali ke psikolog. Hasilnya memang terdapat dugaan kuat mbak D mengalami pembedaan seperti yang saya curigakan. Setelah mencoba  mengkomunikasikan ke pihak sekolah  dan menunggu beberapa bulan, akhirnya saya memutuskan untuk memindahkan mbak D ke sekolah lain.

Pengalaman ke tiga adalah ketika mbak D naik kelas tiga. Hasil evaluasi ayah dan mbu menunjukkan adanya perilaku mbak D yang kurang  mandiri dibanding teman sekelas.  Saya sendiri yang merasa ada ketidaksesuaian pola asuh orang tua dengan kebutuhan mbak D. Daripada bingung, saya lebih memilih bertanya pada yang lebih ahli. Akhirnya kami mencoba berkonsultasi kembali ke psikolog dan ini pengalaman ke tiga. Setelah dua kali pertemuan (pertemuan pertama berupa  pengamatan dan wawancara awal dan pertemuan ke dua berupa konseling). Hasilnya menunjukkan pola asuh kami yang mengedepankan bertanya dan menjelaskan sudah dianggap tepat karena membangun kedekatan tidak hanya dengan ayah dan mbu namun juga ke adik-adik. Demikian pula dengan pola asuh contoh memberikan kejelasan dalam peraturan dalam keluarga. Sisi lain, pola asuh kami kurang mendukung kemandirian (porsi pemberian tanggung jawab ke mbak D masih kurang). Secara bertahap direkomendasikan untuk memulai mengalihkan tugas-tugas supaya mbak D segera bisa menyiapkapkan diri sendiri dan mulai terlibat berbagai tugas rumah tangga (saya mulai menambahkan kegiatan mbak D dengan menyiram tanaman, dan membersihkan kamar dari yang semula hanya membantu ibu masak).  Kalau dulu dalam rangka life skill maka kegiatan rumah tangga ternyata bisa dikembangkan dalam mendukung kemandirian anak. Rekomendasi lain adalah mengembangkan wilayah ego mbak D dengan mengikutkan kegiatan yang disukai dengan target yang sesuai dengan anak. Wilayah ego merupakan pengakuan anak atas kelebihan yang dimilikinya. Anak dengan kemampuan menilai kelebihan yang dimilikinya biasanya akan mampu pula melihat ke-akuannya. Rekomendasi ke dua menekankan suka dan target bersamaan. Jadi anak harus suka sekaligus memiliki target. Kalau anak memang tidak suka maka sebaiknya tidak diberikan. Demikian juga kalau anak suka tapi tanpa target prestasi maka tujuan mengembangkan wilayah ego tidak tercapai.

Sebenarnya ada pertanyaan dari lingkungan sekitar  kenapa harus ke psikolog. Bagi saya, pilihan ke psikolog merupakan pilihan tepat bagi saya yang kurang sreg sekedar hanya baca artikel parenting. Untuk memperkaya wawasan memang sangat direkomendasikan untuk membaca, ikut seminar atau menggunakan sumber lain dalam parenting. Tapi dalam kondisi tertentu, kita juga harus mampu memahami bahwa ada keistimewaan dari setiap anak. Keistimewaan inilah yang membutuhkan pengamatan khusus dan rekomendasi yang lebih sesuai dengan kebutuhan anak.  
Ada juga yang bilang malu untuk pergi ke psikolog; saya akan menjawab apakah tidak lebih malu kalau suatu saat perilaku anak kita mendatangkan kerugian bagi orang lain. Satu hambatan dalam perkembangan anak akan mendatangkan hambatan lain di fase berikutnya dan memberikan pengaruh lebih kompleks. Pertanyaan lain: apakah tidak lebih baik pergi seseorang dengan basis beragama untuk mendatangkan lebih banyak manfaat. Sebenarnya sekarang banyak kok psikolog yang menggabungkan dengan basis agama. Banyak pilihan kok....

Saya pikir kalau dianalogikan kita ke dokter khan bukan hanya ketika sakit namun juga untuk check up secara berkala. Kenapa kalau kita mampu memberikan kebutuhan kesehatan badan tapi tidak untuk kesehatan psikologis. Bukannya ini harusnya berimbang ya....

tertatih-tatih sebenarnya mbu dan ayah mencoba memahami rekomendasi psikolognya. Kalau istilahnya tidak psikolog banget maafkeun ya..akhir sesi saja ayah dan mbu diberikan PR untuk membaca psikologi moral piaget dan kohlberg. Kalau yang ini sebenarnya juga bagian dari rekomendasi khusus untuk orangtua. Psikolognya merasa ayah dan mbu termasuk dalam pembelajar aktif sehingga diberikan beberapa referensi  yang bisa membantu memahami dan menyesuaiakan pola asuh ke perkembangan moral anak


Sebagai penutup, pilihan berkonsultasi ke psikolog anak sebenarnya bukan hanya untuk melihat kondisi anak tapi juga kesesuaian pola asuh. Ini penting sekali, jadi penilaian tidak hanya berhenti pada apakah anak memang punya kelebihan dan kekurangan tapi apakah yang bisa dilakukan seluruh keluarga untuk memenuhi tugas perkembangan anak. Jadi bisa memberikan solusi bukan penilaian semata. Tentunya ini dimulai dengan keterbukaan keluarga ke psikolog itu sendiri dan kemauan orangua untuk mengevaluasi diri sendiri. Bukan hal mudah tapi diperlukan.