Ini cerita pengalaman ayah dan mbu beberapa kali
berkonsultasi dengan psikolog anak. Sekedar berbagi.
Pengalaman pertama kali
berkenalan dengan psikolog adalah ketika mbak D menjadi salah satu subjek obsevasi
perkembangan anak. Mbak D punya kekurangan dalam motoris halus dan kemudian
diberikan perlakuan taktil play. Hasil
evaluasi menunjukkan adanya pengaruh terhadap perkembangan motoris halus. Lain
itu mbak denia juga diberikan test binet. Sayangnya karena mbak yang menguji
tidak memberikan hasil secara tertulis hanya lisan membuat informasi tidak
tersampaikan. (Ini catatan buat mbak-mbak yang ambil profesi psikolog, minimal
berikan saja laporan lengkap secara tertulis kalau tidak sempat bertatap muka
dengan mantan subjek . sebagai bentuk penghargaan. Bukan dengan tanda mata saja
lo). Akhirnya sedikit sekali informasi hasil binnet, Cuma sempat disampaikan
oleh mbaknya kemampuan logika dan verbal mbak D dua tingkat di atas usianya. Sayang
khan..akhirnya kami gak bisa ikut turut mengambil manfaat dari tes yang
dilakukan oleh mbak D.
Nah, dalam perjalanan ketika mbak
D masuk SD ada peristiwa tidak menyenangkan yang harus dialami di sekolah. Perubahan mood dan perubahan interaksi dengan
adik dan temen membuat mbu mengalami kecurigaan. Setelah perjalanan panjang
dengan peristiwa bujuk membujuk, akhirnya saya tahu mbak D mengalami pembedaan
dengan beberapa teman sekelas. Misalkan dengan sebutan “kamu, bukan temanku”. Terakhir
kejadian makin meningkat...mulai dari dikunci di kamar mandi, bola yang
ditendang dan mengenai dada secara sengaja, dan di dorong hingga jatuh. Untuk mengkonfirmasi
kecurigaan saya, akhirnya mencoba berkonsultasi ke psikolog. Jadi ini adalah
yang kedua kali ke psikolog. Hasilnya memang terdapat dugaan kuat mbak D
mengalami pembedaan seperti yang saya curigakan. Setelah mencoba mengkomunikasikan ke pihak sekolah dan menunggu beberapa bulan, akhirnya saya
memutuskan untuk memindahkan mbak D ke sekolah lain.
Pengalaman ke tiga adalah ketika
mbak D naik kelas tiga. Hasil evaluasi ayah dan mbu menunjukkan adanya perilaku
mbak D yang kurang mandiri dibanding
teman sekelas. Saya sendiri yang merasa
ada ketidaksesuaian pola asuh orang tua dengan kebutuhan mbak D. Daripada
bingung, saya lebih memilih bertanya pada yang lebih ahli. Akhirnya kami
mencoba berkonsultasi kembali ke psikolog dan ini pengalaman ke tiga. Setelah dua
kali pertemuan (pertemuan pertama berupa pengamatan dan wawancara awal dan pertemuan ke
dua berupa konseling). Hasilnya menunjukkan pola asuh kami yang mengedepankan bertanya
dan menjelaskan sudah dianggap tepat karena membangun kedekatan tidak hanya
dengan ayah dan mbu namun juga ke adik-adik. Demikian pula dengan pola asuh contoh
memberikan kejelasan dalam peraturan dalam keluarga. Sisi lain, pola asuh kami
kurang mendukung kemandirian (porsi pemberian tanggung jawab ke mbak D masih kurang).
Secara bertahap direkomendasikan untuk memulai mengalihkan tugas-tugas supaya mbak
D segera bisa menyiapkapkan diri sendiri dan mulai terlibat berbagai tugas
rumah tangga (saya mulai menambahkan kegiatan mbak D dengan menyiram tanaman, dan
membersihkan kamar dari yang semula hanya membantu ibu masak). Kalau dulu dalam rangka life skill maka
kegiatan rumah tangga ternyata bisa dikembangkan dalam mendukung kemandirian
anak. Rekomendasi lain adalah mengembangkan wilayah ego mbak D dengan
mengikutkan kegiatan yang disukai dengan target yang sesuai dengan anak. Wilayah
ego merupakan pengakuan anak atas kelebihan yang dimilikinya. Anak dengan
kemampuan menilai kelebihan yang dimilikinya biasanya akan mampu pula melihat
ke-akuannya. Rekomendasi ke dua menekankan suka dan target bersamaan. Jadi anak
harus suka sekaligus memiliki target. Kalau anak memang tidak suka maka
sebaiknya tidak diberikan. Demikian juga kalau anak suka tapi tanpa target
prestasi maka tujuan mengembangkan wilayah ego tidak tercapai.
Sebenarnya ada pertanyaan dari
lingkungan sekitar kenapa harus ke psikolog.
Bagi saya, pilihan ke psikolog merupakan pilihan tepat bagi saya yang kurang
sreg sekedar hanya baca artikel parenting. Untuk memperkaya wawasan memang
sangat direkomendasikan untuk membaca, ikut seminar atau menggunakan sumber
lain dalam parenting. Tapi dalam kondisi tertentu, kita juga harus mampu
memahami bahwa ada keistimewaan dari setiap anak. Keistimewaan inilah yang
membutuhkan pengamatan khusus dan rekomendasi yang lebih sesuai dengan
kebutuhan anak.
Ada juga yang bilang malu untuk pergi
ke psikolog; saya akan menjawab apakah tidak lebih malu kalau suatu saat perilaku
anak kita mendatangkan kerugian bagi orang lain. Satu hambatan dalam
perkembangan anak akan mendatangkan hambatan lain di fase berikutnya dan
memberikan pengaruh lebih kompleks. Pertanyaan lain: apakah tidak lebih baik
pergi seseorang dengan basis beragama untuk mendatangkan lebih banyak manfaat. Sebenarnya
sekarang banyak kok psikolog yang menggabungkan dengan basis agama. Banyak pilihan
kok....
Saya pikir kalau dianalogikan kita ke dokter khan bukan hanya ketika sakit namun juga untuk check up secara berkala. Kenapa kalau kita mampu memberikan kebutuhan kesehatan badan tapi tidak untuk kesehatan psikologis. Bukannya ini harusnya berimbang ya....
tertatih-tatih sebenarnya mbu dan
ayah mencoba memahami rekomendasi psikolognya. Kalau istilahnya tidak psikolog
banget maafkeun ya..akhir sesi saja ayah dan mbu diberikan PR untuk membaca
psikologi moral piaget dan kohlberg. Kalau yang ini sebenarnya juga bagian dari
rekomendasi khusus untuk orangtua. Psikolognya merasa ayah dan mbu termasuk
dalam pembelajar aktif sehingga diberikan beberapa referensi yang bisa membantu memahami dan menyesuaiakan
pola asuh ke perkembangan moral anak
Sebagai penutup, pilihan
berkonsultasi ke psikolog anak sebenarnya bukan hanya untuk melihat kondisi
anak tapi juga kesesuaian pola asuh. Ini penting sekali, jadi penilaian tidak
hanya berhenti pada apakah anak memang punya kelebihan dan kekurangan tapi
apakah yang bisa dilakukan seluruh keluarga untuk memenuhi tugas perkembangan
anak. Jadi bisa memberikan solusi bukan penilaian semata. Tentunya ini dimulai
dengan keterbukaan keluarga ke psikolog itu sendiri dan kemauan orangua untuk
mengevaluasi diri sendiri. Bukan hal mudah tapi diperlukan.